Saturday, August 21

-Part 7-

Pengkhianatan

Namaku, Nara Stoijchkoff, anggota aktif Densus 88 antiteroris. Dua peristiwa pemboman yang menewaskan orang-orang yang aku sayangi membuatku mengubah kesedihanku menjadi kekuatan menakutkan. Saatnya menagih dendam


Setelah pamitan dan berjanji pada Mbok Komang bahwa aku akan sering pulang, aku beranjak meninggalkan Banjar Kerambitan, tempat yang memberiku denyut pada kehidupanku. Di sepanjang perjalanan, aku terngiang nasihat Mbok Komang, hanya dialah yang kuberi tahu tentang pekerjaanku sekarang. Dia berpesan untuk selalu ingat tujuan hidup dan kehidupan setelah kujalani hidupku yang sekarang. Jalanan yang kini sudah beraspal itu dulu hanya sebuah jalan kecil berbatu. Aku masih sempat membayangkan perjalanku dulu menuju sekolah yang letaknya cukup jauh dari rumahku. Aku bersepeda bersama-sama teman sebayaku. Di sadel belakangku, aku membawa makanan kecil buatan ibu yang nanti akan kutitipkan di kantin sekolah. Jika makanan kecil itu tidak habis, aku bersama teman-temanku akan berhenti sejenak di bawah Pohon Mahoni yang banyak tumbuh di pinggir jalan itu, dan menghabiskan sisa dagangan ibu. Daripada tidak dimakan dan terbuang, pesan ibuku. Pohon-pohon Mahoni itu sebagian sudah ditebangi untuk melebarkan jalan.


Lamunanku buyar ketika telepon selularku kembali berdering. “Intel kita menginformasikan, akan ada plot pembunuhan kepada Pasopati 1. Dan ada orang dalam yang terlibat. Kami belum dapat informasi yang jelas, tapi orang itu dari dalam istana.” Seru Targa dari speaker telepon. “Bukankah RI 1 sering mengeluhkan itu? Jangan-jangan itu seperti pidato beliau waktu itu. Dan itu ternyata tidak terbukti kan? Buktinya sampai sekarang beliau baik-baik saja, Paspampres itu digaji mahal dan diseleksi ketat bukannya tanpa alasan kan?” sanggahku. Jujur aku sudah cukup bosan mendengar pidato presiden bahwa dirinya sedang diincar oleh teroris. Sebuah kenyataan yang sebenarnya tabu untuk diungkap di muka publik, bukankah sebuah lembaga kepresidenan itu simbol kedaulatan negara? Bagaimana warga negara ini atau negara lain bisa menghormati kedaulatan itu jika presidennya selalu merasa terancam di rumahnya sendiri?


“tapi ini serius Ra’, sumber terpercaya kita mengkonfirmasi beberapa bukti. Aku juga sudah membuat analisa dari bukti-bukti yang kita punya, hasil rekonstruksiku dari dokumen yang kita sita dari penangkapan-penangkapan kita selama ini mengarah pada kemungkinan itu. Pasopati 1 akan ditembak dari jarak lebih dari 2 Km dari tempat dia berdiri.” Targa tetap antusias menerangkan teorinya. “2 Km? Hanya Bob Lee Swagger saja yang bisa mengambil tembakan itu Ga’, dan dia hanya hidup di dunia fiksi a la Hollywood.” Jawabku, tapi dalam benakku muncul sebuah ingatan sekitar 2 tahun yang lalu. Aku pernah menembak dahi Perdana Mentri Malaysia yang kini sudah habis masa jabatannya. Waktu itu aku berhasil mengenai dahi Perdana Mentri congkak itu dari jarak 2,142 Km dengan peluru cat. Dan sampai sekarang aku tidak pernah tertangkap untuk kejadian itu.


Targa menyanggah ucapanku “Cheytac M200 dirancang untuk menembak dari arah lebih dari 3 Km Ra’, aku tetap yakin kalau didunia ini ada orang dengan bakat unik seperti Swagger itu.” “Aku sudah sampai bandara, kita ketemu di Resto Jepang dekat Bandara Ngurah Rai, saluran ini sepertinya sudah di tap. Ada beberapa yang ingin aku bilang ke kamu Ra’…OK?” kata Targa mengakhiri pembicaraannya di telepon. Setelah mengiyakan perkataan Targa, kendaraanku memasuki jalan besar, aku segera memacu mobil dengan kecepatan tinggi, kuhidupkan lampu flash dan sirine pembuka jalan, dan perjalanku di jalur padat itu lancar tanpa menemui kemacetan sedikitpun. Tak lama aku sampai di tempat yang dimaksud Targa. Sebuah resto yang menyediakan masakan-masakan Jepang. Sang pemilik resto, Keisuke Tjokrohamidjojo adalah mantan anggota intelejen militer yang sudah lama tidak lagi aktif, tapi masih mendedikasikan dirinya membantu para agen dari berbagai kesatuan untuk melaksanakan tugas mereka. Ayahnya seorang anggota pasukan bela diri Jepang yang dalam penyamarannya menikah dengan Sitoresmi Tjokrohamidjojo, seorang putri bangsawan dari Solo. Salah satu dari bantuan itu adalah menyediakan sebuah ruang yang tidak bisa ditembus oleh gelombang apapun. Dia menyebutnya ruang hening. Ruang ini terletak sekitar 10 meter dibawah resto yang dikelolanya. Gelombang mikro dengan resonansi paling besarpun tidak akan bisa menembus kedalaman ruang ini.


Targa meletakan 2 pistol yang dari tadi dia sandang di pinggangnya agar dia bisa duduk dengan nyaman. Aku membuka tablet HP slate yang dipinjamkan Pak Keisuke. Dari Flashdrive-ku aku membuka beberapa dokumen rahasia hasil sitaan Densus 88 dari berbagai penangkapan. Ada beberapa yang memang mengarah pada plot pembunuhan Pasopati1, sandi kami untuk RI 1 alias Presiden Republik Indonesia. Tapi semua itu terputus pada penangkapan dan penumpasan yang kami lakukan. Tidak banyak bukti yang bisa mendukung teori pembunuhan ini. Kami belum menemukan motif yang kuat yang bisa mendasari seseorang dari daftar hitam kami untuk melakukan perbuatan yang mungkin akan menyebabkan revolusi besar-besaran di negeri ini. Aku mencoba merekonstruksi bukti dan kejadian yang aku alami selama 1 bulan ini. Mulai dari Ahmed Hassan yang bebas berkeliaran di negara ini, hingga percobaan pembebasan seorang gembong teroris dengan operasi yang tidak bisa dibilang kecil. Biasanya aku dengan mudah bisa mengendus rencana busuk para teroris itu sebelum mereka melakukan aksinya, tapi entahlah, mungkin nostalgiaku kemarin sedikit mengaburkan firasatku.


Dari atas, Pak Keisuke memanggil Targa, telepon seluler yang dia tinggal di ruang atas berkali-kali bordering. Hanya beberapa saat saja, Targa kembali ke ruang tempat kami berdiskusi, teman-teman di Jakarta berhasil menggerebek sebuah rumah pemondokan dan menangkap beberapa tersangka teroris. Mereka menemukan beribu-ribu amunisi dan puluhan amunisi kaliber 8.5 lapua magnum yang biasa digunakan untuk menembak dari jarak jauh. Diduga beberapa tersangka teroris berhasil meloloskan diri. Dari telepon selularnya itu, Targa memaki-maki anak buahnya, mereka dianggap tidak matang dalam merencanakan sebuah penggerebekan. Dari berbagai operasi, baru kali ini tersangka berhasil lolos dengan mudah.


Aku kembali berdiskusi dengan Targa. “Sepertinya info pesta bocor ke mereka Ga’, kamu tahu teman-teman kita bukan polisi kacangan kemarin sore yang bisa dengan mudah dikadali.” Aku sedikit membela teman-teman yang ada di Jakarta. “Kamu mau bilang kalau di unit kita ada penghianat?” Tebak Targa. “Kita tidak bisa menutup mata. Hampir setiap agensi pernah mengalami hal itu Nak Targa.” Tukas Pak Keisuke yang tiba-tiba masuk membawakan kami dua gelas dan satu poci sake. Targa dengan ketus menjawab “Tapi tidak di Densus 88 Keisuke San.” Tapi dengan sengit Pak Keisuke cepat-cepat menjawab “Justru terkhusus Densus 88.” Diapun mulai bercerita sambil menuang sake dalam poci kedalam gelas. “Dulu, sebelum ada Densus 88, pengamanan teroris di negara ini dibebankan kepada tentara. Aku bergabung dalam sebuah detasemen dibawah marinir AL, Detasemen Jala Mangkara, salahseorang temanku berkhianat dan menjual informasi kepada negara tetangga kita. Dan akibatnya, kita kehilangan pulau Sipadan. Setelah itu, Denjaka dibekukan, dan disinilah aku…hehehehe.” Sambil menyerahkan sake kepada kami dia melanjutkan “Ingat Nara, Targa… ketika kalian bermain-main dengan informasi rahasia, kalian meletakkan kaki kaki kalian pada sebuah paradox, pada hal-hal yang saling bertolak belakang.”


Betul apa yang dikatakan Pak Keisuke. Sebuah kebanggaan bisa mengaburkan penilaian kita. Memang sejak berdiri, hampir bisa dibilang Densus 88 adalah sebuah detasemen dengan kinerja paling sempurna. Aku memang tidak mengawal detasemen ini sejak awal. Tapi aku bisa merasakan dedikasi dan pengabdian para agen-agen Densus 88. Aku ingat kejadian saat percobaan pembebasan Paijan 1 beberapa waktu yang lalu. Sebenarnya banyak kejanggalan yang aku tangkap dari kejadian waktu itu. Meski sudah 2 tahun lebih aku bekerja dalam resimen ini, aku belum terlalu bisa berbagi informasi dengan teman-teman yang lain dalam timku. Sebelum bergabung dengan detasemen elit ini , aku banyak bekerja sendirian.

Pak Keisuke kembali ke restonya, sambil menekan tombol lift, dia mengingatkan bahwa satu jam lagi, makan malam siap. Aku kembali pada data laporan tertulis dari operasi pengiriman Paijan beberapa waktu yang lalu,yang baru saja terkirim ke tablet HP slide ini. Aku mulai meneliti lagi data-data dan foto-foto yang dikirim dari Densus 88 unit Jakarta, termasuk skema terowongan air yang aku gunakan untuk menghindari tembakan Ahmed Hassan. Dari skema itu, aku bisa melihat bahwa ternyata banyak sekali ujung terowongan di sekitar tempat tertembaknya Manggor. Aku mulai bertanya-tanya, darimana Ahmed Hassan mengetahui terowongan yang aku lewati dan menunggu kami disana. Lalu kejadian penyerangan di selasar diantara dua gedung tua. Termasuk misil darat yang menghantam mobil kami. Dari foto forensik, ada sebuah fragmen misil yang menarik perhatianku. Sebuah lokator digital yang tidak ikut meledak dengan misil darat itu. Melihat jarak mobil kami dengan penembak misil yang lebih dari 500 meter, mustahil misil itu hanya dibantu dengan heat seeker biasa. Seseorang pasti menempelkan chip pemandu di mobil pengangkut tahanan itu agar misil dapat menghantam tepat pada mobil itu. Lokator digital itu hanya sebesar ujung kelingking orang dewasa, dan aku yakin, forensik pasti melewatkan satu bagian kecil ini.


Aku masih belum membagi temuanku dengan Targa. Teoriku masih terlalu mentah, orang itu sangat bangga dengan kesatuan yang dipimpinnya, dan kadang hal itu mempengaruhi kredibilitasnya dalam menyidik sebuah kasus. Aku tidak mau kasus ini hilang begitu saja hanya karena keteledoran satu orang. Aku baru menyimpulkan bahwa jika memang ada pengkhianat, pasti dari Densus 88 sendiri. Memang operasi waktu itu merupakan sebuah operasi gabungan dari berbagai agensi intelejen di negara ini, tapi eksekutor di lapangan diserahkan penuh pada Densus 88, termasuk dalam memilih mobil yang kami gunakan untuk mengangkut para Paijan. Aku menduga bahwa Targa mungkin terlibat dalam plot pembunuhan RI 1 ini. Dan kemungkinan dia mengajakku agar dia punya seseorang untuk disalahkan.

Targa sempat mengetahui bahwa aku mempunyai dokumen-dokumen dan bukti-bukti kuat tentang kecurangan sang RI 1 dan partai yang dia pimpin dulu ketika masa pemilihan umum. Bukti-bukti sebenarnya akan diolah oleh seorang pimpinan sebuah lembaga pemberantasan korupsi di negara ini, namun apa daya, sang pimpinan berhasil dijebak dan terjungkal ke penjara. Dan jika bukti ini sampai muncul ke permukaan, revolusi besar-besaran bisa terjadi di republic ini, dan aku terlalu mencintai negara ini untuk membiarkan itu terjadi. Dan motif ini bisa mengantarku ke penjara, belum lagi jika Targa berhasil memainkan skenarionya, aku mungkin akan langsung di eksekusi agar tidak bersaksi di pengadilan. Entahlah, teori ini masih sangat mentah dan butuh banyak hal untuk aku kembangkan. Sementara aku tidak lagi mempunyai teman yang aku percaya.


Kami keluar dari ruangan hening itu. Waktunya makan. Banyak yang kami obrolkan dengan Pak Keisuke, orang tua itu ternyata mengabdikan lebih dari separuh hidupnya untuk mengamankan negara ini dari musuh-musuh yang ingin menggerogoti kedaulatan negara ini. Sayup-sayup terdengar di siaran berita yang kami tonton sambil makan, berita tentang Menteri Luar Negeri yang menyetujui penukaran pencuri ikan dari negara tetangga dengan aparat negara yang ditangkap oleh polisi diraja negeri tetangga. Pak Keisuke langsung berkomentar panjang lebar tentang berita itu. Tak lama kemudian, di sebuah talk show, juga di stasiun televisi berita itu, membahas tentang pernyataan Menteri Luar Negeri itu. Mereka menghadirkan Jonas Herbert Tuhuteru, seorang tokoh nasional yang begitu perduli dengan wilayah kelautan negara ini. Pak Keisuke sempat bercerita bahwa dia sempat bekerja sama dengan J.H. Tuhuteru dalam sebuah riset tentang batas wilayah kelautan negara-negara di asia tenggara. Besok, J.H. Tuhuteru juga akan menyampaikan sebuah makalah di depan para peserta konferensi.


Belum sempat kami menyelesaikan makan malam kami, alat komunikasi kami berbunyi. Panggilan darurat dari Densus 88 unit Denpasar. Mereka melaporkan bahwa terjadi pembunuhan seorang anggota Brimob di sebuah bank di kawasan Legian. Menurut saksi mata, anggota brimob tersebut tertembak di bagian dada. Kami segera meluncur ke lokasi

Aku, Ni Luh Nara Tirtakinanti dari Banjar Kerambitan.

Wednesday, August 11

pulang

Ijin cuti dari Mabes baru saja keluar. Setelah rentetan kejadian dan tugas kemarin, Targa merekomendasikan aku untuk diberi ijin cuti selama 1 bulan. Luka di kaki kiriku memang belum pulih betul. Rasa ngilu masih kurasakan karena peluru yang kemarin mengenai kakiku menembus sampai tulang, tapi aku beruntung, peluru itu tidak sampai mematahkan tulang keringku. Dokter bilang dalam 2 minggu ngilu itu akan hilang dengan sendirinya.

Aku keluar dari markas paling modern yang dipunyai kepolisian negara itu dengan air muka datar. Selama hampir 8 tahun hidupku, aku tidak mempunyai kesibukan lain selain menembak dan mengendus teroris. Entah berapa dahi teroris yang sudah kulubangi, entah berapa peluru yang sudah kutembakkan. Aku tidak pernah lagi menghitung. Aku menyukainya, dan aku ahli dalam melakukannya. Sekarang aku diperintahkan untuk cuti. Sebenarnya aku malah tidak tahu apa yang akan aku kerjakan.

--

Setelah melapor di markas Densus 88 di Denpasar, aku menuju ke tempat kelahiranku. Dari Markas Denpasar, aku dipinjami sebuah mobil untuk sarana transportasiku. Nissan Terrano Grand road keluaran tahun 2002 dengan GPS dan kaca anti peluru. Ah..mereka tidak merelakanku pergi jauh. GPS ini tentu untuk melacak kemana saja aku pergi. Di bawah dashboard ada senjata standard Densus 88, senapan karabin M203, lengkap dengan 2 magazen cadangan di dalam dashboard. Lumayan untuk sebuah pasukan elite kepolisian di negara berkembang seperti negara ini.


Aku mulai memasuki daerah kelahiranku. Rambu-rambu penunjuk arah yang baru saja kulewati menunjukan daerah Tabanan masih 27 km lagi. Di samping kiriku, menghampar sawah yang menguning siap panen. Tak jauh dari sisi kananku, tampak pohon kelapa melambai lambai di sisi pantai, dengan air laut yang biru kontras dengan pantai pasir putih. Pemandangan khas pedesaan pinggir pantai Bali yang sudah 10 tahun lebih tidak kulihat lagi.


Dulu, hampir setiap akhir pekan, aku menghabiskan waktuku di pantai yang tak jauh dari rumahku. Menatap mentari yang hilang di Selat Bali, lalu melihat kerlap kerlip Pulau Jawa dari kejauhan. Aku akan sampai di rumah tepat ketika ibu selesai menyiapkan makan malam. Plecing kangkung yang renyah, Ayam mesisit yang menggoda selera, dan lawar bali yang terkenal itu. Ibuku bisa memasak semua itu dengan sempurna, pas sekali di lidahku. Dan setelah malam selesai, kami berkumpul di halaman depan di samping pura. Dan ayah biasanya menceritakan kisah-kisah khas Bali, seperti Hikayat Jayaprana dan Layonsari, Satua I pucung, atau kekidungan lagu-lagu Bali. Hampir semua kidung Bali aku hapal. Dari dapur, biasanya sayup sayup terdengar ibu menggumamkan Kidung Pangredana

Pangredana ne keluwur
Maka pengundang Dewane
Asep menyan majegahu
Ambunnyane merik sumirik
Cenana pada mesanding
Pemendak Ida Bhetara
Anggenne diluwur
Ngaran Tiga Sakti

Terngiang lagi Kidung-kidung Bali yang biasa di nyanyikan ibu sambil membereskan rumah. Suaranya yang merdu, sangat fasih melafalkan kata-kata dalam Bahasa Bali. Hampir semua ibu-ibu di Banjar Kerambitan pandai berkidung. Kata-kata yang menenteramkan hati. Syair-syair ajaib yang mampu mendinginkan kepala setelah lelah belajar di sekolah.

Tak terasa, mobil yang aku kendarai mulai memasuki wilayah Banjar Kerambitan. Jalan yang dahulu masih berbatu, sekarang sudah ter aspal halus. Jalan ini yang dulu kulewati sehari-hari menuju sekolah di ujung banjar. Terakhir aku melewati jalan ini, 10 tahun yang lalu, ketika keluarga Stoijhkoff menjemputku dari rumah Pak Bendesa (kepala desa dalam Adat Bali). Keluarga ayah dan ibuku tidak berasal dari banjar ini. Mereka pindah dan entah aku tidak ingat lagi mereka berada dimana.


Tidak banyak yang berubah dari Banjar Kerambitan ini. Jalan-jalan masih sama, hanya beberapa bangunan saja sudah tampak berdiri di lahan-lahan yang dahulu kosong. Aku menghentikan mobil hitam ini di sebuah rumah tua. Pura di depan rumah tampak rapi dan masih tertata baik, tanda bahwa pura itu masih sering dipakai warga. Tapi rumah kayu di belakang pura tampak tua dan kurang terawat. Itulah rumahku. Tempat aku lahir dan menjalani masa remajaku. Halaman rumah yang menjadi satu dengan halaman pura tampak bersih tersapu. Dengan langkah berat, aku turun dan mendekati rumah itu. Hatiku tercekat. Ingatanku seperti kembali ke 10 tahun yang lalu. Aku melihat ayahku yang sedang memandikan ayam, adikku yang sibuk menyerut bambu untuk layang-layang. Beberapa itik berlarian bersama induknya mencari cacing di samping rumah.


Sayup- sayup kudengar kidung purwa kaning dari kejauhan. Kidung yang biasa dinyanyikan ibu sambil memisahkan beras dari sekam.



Purwa kaning angrip tarum
Ningwana ukir kehadang labuh
Kartika panedengin sari
Angayon tangguli ketur
Angringring jangge mure

Sukanya arja winangun
Winarna sari sampuning riris
Sumahur ingoling tangi
Rumrumning puspa priyaka
Munggwing srenganing rejeng

"Maaf bu, mencari siapa ya?" Lamunanku buyar ketika suara lembut itu terdengar dari belakang tubuhku. Aku membalikkan badanku, dan tampaklah seorang ibu setengah baya sedang menunggu jawabanku. Aku tidak menjawab, hanya sebuah nama terucap dari bibirku "Mbok Komang" Sang pemilik nama, ibu setengah baya itu heran, bagaimana aku bisa mengetahui namanya. Aku membuka kacamata hitam yang membungkus mataku. Dan ketika melihat keseluruhan wajahku, serta merta dia memelukku, dan pecahlah tangisnya. "Ni Luh...Ni Luh...." Aku masih berusaha tenang dan menanyakan kabarnya dengan Bahasa Bali yang sudah mulai kulupakan, "Punapi Gatra, Mbok Komang?" Mbok Komang adalah wanita yang mengasuhku dulu. Bukan pembantu kami, tetapi dia sering datang dan membantu pekerjaan rumah ibuku.


Mbok Komang kemudian pulang mengambilkan kunci rumahku. Selepas aku pergi, Mbok Komanglah yang membersihkan rumahku. Tidak ada yang menghuni rumah ini. Dan Mbok Komang dengan suka rela merawat rumah ini, jika nanti aku pulang, masih ada rumah yang aku tuju. Tak lama kemudian, Mbok Komang datang dengan kunci di tangannya. "Aku pulang dulu Ni Luh, masih ada pekerjaan, nanti malam kalau kamu butuh teman,pergilah ke rumahku. Suamiku masuk pagi, anak-anakku sekolah di luar kota"kata Mbok Komang sambil mengalirkan air di kamar mandi. "Baik Mbok, terima kasih"


Hari mulai gelap ketika aku bangkit dari dudukku di sudut ruangan. Cukup lama aku membiarkan pikiranku bernostalgia, pulang kembali ke rumahku yang sebenarnya. Rumah damai yang pernah membantuku tumbuh menggeluti pikiran dan kesadaranku. Mbok Komang betul-betul pandai merawat rumah ini. Tak ada satu perabotpun yang berpindah tempat. Dari ruang tamu di depan sampai dapur, semua penataannya masih sama. Hanya beberapa perabot masak di berikan kepada tetangga, atau dipakai sendiri oleh Mbok Komang. Aku memakluminya. Mbok Komang mengirimi aku makan malam. Menunya hampir sama dengan apa yang dulu dimasak oleh ibuku. Makanan khas pedesaan Bali yang tak pernah lagi kujumpai sepanjang pengembaraanku. Setelah makan, aku tertidur pulas. Perjalanan dari Denpasar ke Krambitan ini ternyata cukup membuatku lelah.


--

Aku terbangun ketika sayup-sayup kudengar orang membacakan mantra di pura depan rumah. Kata Mbok Komang, banyak warga banjar yang berdoa di pura itu. Selain ukurannya yang cukup luas, letak rumahku yang berada persis di tengah desa membuat pura itu mudah dijangkau oleh warga. Bau kemenyan dan kembang sesaji yang dibawa para pendoa itu menusuk hidung dan membangunkanku. Persis ketika kanak-kanakku dulu, aku terbangun karena sesaji yang dibawa ibu. Biasanya setelah itu dia akan membangunkan kami untuk berdoa pagi bersama-sama di pura. Di suatu pagi, ibu membuat sesaji khusus dan melingkarkan sebuah gelang benang di lenganku sambil mengucap doa "Ne cening magelang benang, apang ma uwat kawat ma balung besi" hari ulang tahunku, menurut penanggalan Bali.

Dari jendela aku melihat beberapa orang berdoa di pura, beberapa gadis seusiaku, dan seorang pedanda, bersama-sama mereka membaca syair doa dari kitab Bhagawadgita. Syair-syair yang sudah lama berkarat di otakku. Dulu, sebelum tidur, ayah atau ibu selalu membacakan satu syair untuk kuingat dan kurenungkan sembari tidur. Kami memang bukan dari keluarga brahmana, tetapi Ayah dan Ibuku mendidikku dengan ajaran-ajaran Hindu. Dulu bahkan aku hapal semua hari pantangan. Hari apa aku tidak boleh menebang pohon, atau hari apa aku tidak boleh membunuh hewan. Semua sudah terkubur di dasar otakku. Aku sudah berubah menjadi malaikat pencabut nyawa yang paling menakutkan bagi musuh-musuhku. Tanganku bergelimang darah dari para manusia yang mengaku dikirim Tuhan untuk menghukum orang-orang kafir. Tuhan yang mana?


Di hari ke tiga kepulanganku. Aku ikut berdoa di pura, tetangga kiri dan kananku mulai mengenalku kembali. Dan mereka tidak pernah berubah. Keramahan Banjar Kerambitan tak pernah lekang oleh waktu. Beberapa diantara mereka sudah bercucu. Remaja-remaja yang dulu menjadi sebayaku kebanyakan sudah berkeluarga. Mereka tidak pernah menanyakan pekerjaanku, dimana aku tinggal, atau hal-hal yang aku rahasiakan lainnya. Mbok Komang memberitahuku bahwa beberapa hari yang lalu, baru saja ada upacara ngaben untuk ayah dan ibuku. Aku terdiam. Di tepi halaman itu, airmataku untuk pertama kalinya meleleh. Aku menangis tanpa terisak. Mbok Komang memelukku dari belakang sambil membisikkan nasihat-nasihatnya. Dia kemudian membimbingku masuk ke pura.


Seperti Narada memuji Bathara Wisnu dan Kresna, aku berdoa di pura itu. Entah bahasa apa yang kupakai, kenangan indah di rumahku ini tidak membuatku gontai. Aku justru ingin seribu kali lebih kuat untuk memerangi musuh-musuhku. Aku ingin memasuki Padang Kurusetra-ku lebih dalam.


"trrrriiiit...triiiiiiiit..trrrrrrrrrrriiiiiiiiiiiitt" Telepon selularku berbunyi, tepat ketika aku keluar dari pura. Suara Targa terdengar di speaker telepon "Cuti kamu batal Ra', segera melapor ke Markas Denpasar, Ahmed Hasan lolos dari parameter..."