Sekarang aku hanya sebuah kayu tua. Dulu aku adalah sebuah pohon di hutan bukit subur. Rindang daunku, carang2ku menjulang ke angkasa. Tidak seperti teman-temanku yang lain yang ingin ditebang dan menjadi alat pembantu manusia, aku tidak mempunyai cita-cita itu, aku hanya ingin tumbuh dan mekar, sehingga kelak, manusia akan kagum melihat keperkasaanku, aku ingin lebih tinggi lagi dan tumbuh lagi, dan dekat dengan langit, tempat sang pencipta bertahta.
Tapi impianku sirna, sebelum aku menjadi pohon besar seperti yang aku impikan, manusia datang dan menebang aku. Mereka kemudian menguliti aku, membentuk aku menjadi sebuah gelondong besar, dan kemudian menyimpan aku di tempat yang pengap dan gelap. Berhari-hari aku merenungi nasibku, kecewa dan marah.
Hari demi hari, bulan berganti bulan, entah berapa musim kemarau aku sudah lewati, aku sudah berhenti menghitung hari dan lupa akan cita-citaku. Aku sudah lelah menyesali nasib. Sampai pada suatu pagi, datanglah dua orang ke tempatku. Mereka menggotong aku, dan memanggulkan aku pada seseorang. Orang itu kira-kira 33 tahun usianya. Di kepalanya tersandang mahkota dari semak-semak berduri, dan duri-duri itu menancap di sekujur kepalanya. Pakaiannya lusuh penuh darah, sepertinya orang ini baru saja dicambuk dan disiksa.
Dengan pasrah orang itu menerimaku dan mulai berjalan sambil memanggul aku. Aku yang begitu berat membuat orang itu jatuh tersungkur ke tanah. Tapi dia bangkit lagi, dia terus berjalan, sepertinya akan menuju sebuah tempat yang tinggi, jalannya menanjak dan berbatu, sepanjang jalan banyak orang meludahi orang ini, melempari dia dengan batu, tapi dia hanya diam. Aku iba melihat orang ini. Apa salah orang ini? Akhirnya datanglah sekelompok wanita mendekati orang ini, mereka meratap dan memberinya minum. Dan kemudian dia berjalan lagi.
Sesampainya di puncak bukit, pakaian orang itu di lucuti, para serdadu membuang dadu untuk mendapat pakaian orang itu. Kemudian kedua tangan dan kakinya dipaku pada tubuhku. Aku tidak bisa membayangkan betapa sakitnya ketika sebuah paku menembus pergelangan tangannya. Setelah terpaku, aku diangkat tinggi bersama orang itu. Terik matahari yang kejam seperti menusuk-nusuk tubuh orang itu. Menambah perih dan ngilu pada luka-lukanya.
Akhirnya setelah 3 jam, orang itu berkata "Bapa kedalam tangan-Mu kuserahkan nyawaKu" dan meninggal. Dan dari situ aku tahu siapa orang ini. Tangan-tangan pembuat mukjizat yang penuh kasih telah dipakukan pada ujung-ujungku. Pribadi agung penebus memanggul aku dengan penuh taat. Berbahagialah aku, karena menjadi dekat dengan Sang Pencipta. Lebih dekat dari yang kuimpikan dahulu.
(P. Budiningtyas)