Saturday, February 14

Surat Dinar

Bapak yang aku cintai,

Aku telah sampai pada ujung waktuku untuk berusaha memahamimu. Rentang waktu yang sedemikian panjang, diantara sela canda tawa, semangatmu di lapangan, suara tinggimu di pemaparan idealismemu, dan sapaan hangat tanganmu di pundakku telah menuntunku pada sebuah sikap untuk memilih menjadi aku yang bukan kau kehendaki. Kurasa, 20 tahun telah memberiku pilihan untuk merawat pemahamanku tentang hidup, dan sayangnya, kita berseberangan pendapat.

Aku capek, Pak. Keyakinan dan kesabaran tidak cukup menahanku. Mungkin, kau akan bilang aku tidak cukup sabar dan tidak cukup yakin, tetapi aku sudah capek berada di atas istana idealisme dan ukuranmu. Aku capek memikirkan hal-hal belaka di dalam sebuah cerita dongeng.

Aku pergi untuk menjalani apa yang telah aku yakini. Anggaplah ini sebuah usaha seorang anak muda untuk menjalani hidupnya sebaik-baiknya menurut(nya). Percayalah, aku tidak akan pernah melupakanmu. Percayalah, kau sudah cukup banyak memberiku bekal untuk menjadi aku yang sekarang.

Bapak yang aku hormati,

Maafkan aku yang harus melukaimu dengan sikap (sok) nekatku. Tapi, yakinlah bahwa aku sudah siap untuk menjalani apa saja di luar sana. Aku menunggumu Pak, di setiap detik waktuku, menunggu uluran tanganmu dan ajakanmu untuk bermain layang2 lagi tanpa satupun nada protesmu atas apa yang terjadi dalam hidupku. Aku bermimpi kita duduk di beranda rumah, menceritakan hidup kita masing-masing, dengan teh, ketela hangat, dan senyum tulusmu. Dan, aku yakin itu akan terjadi kelak, entah kapanpun itu.

Anakmu yang kau sebut Usrok di jaman kecilnya