Wednesday, June 30

-part 4-

Misi Dendam


Aku , Nara Stoijchkoff, agen dari sebuah resimen tak bernama dibawah Densus 88 yang ditugaskan di Jakarta, keluarga asliku tewas terbunuh di bom bali 2002. Aku di adopsi oleh sebuah keluarga dari Amerika Serikat. Sejak aku memutuskan untuk mengikuti program anti-teroris ini. Aku tahu, hidupku tak akan pernah sama lagi.

Aku tercekat di balik meja. Meja kayu besar yang aku gulingkan untuk menjadi tameng dari peluru-peluru yang ditembakan dari sebrang gedung. Tak jauh dari tempatku berlindung, Rengga meregang nyawa. Dadanya tertembus peluru. Hanya beberapa mili saja dari jantungnya. Tapi sepertinya itulah yang diinginkan penembak jitu dari seberang gedung itu. Menurut perkiraanku, penembak jitu itu menggunakan senapan Sako TGR 42, dengan akurasi kurang dari setengah MOA, mustahil penembak jitu itu luput menembak jantung Rengga. Dia sengaja menempatkan peluru berdiameter 8.58, Lapua Magnum itu beberapa mili dari jantung Rengga, sehingga Rengga tidak langsung tewas. Aku tahu jenis dan ukuran peluru itu dari peluru lain yang luput dari tubuhku. Dia sepertinya ingin melihat Rengga meregang nyawa terlebih dahulu. Darah memenuhi paru-parunya, jantungnya terpacu lebih cepat. Rengga berusaha mengatakan sesuatu, tapi selalu tersedak darah yang terlanjur membuncah dari paru-parunya. Dan setelah beberapa lama, Rengga tak bergerak lagi. Sungguh cara meninggal yang tragis.

Agenda pribadiku dalam pengejaran teroris ini kembali menelan korban. Setelah Bima, rekanku sebelum Rengga, tewas setelah kamar kost-nya dipasang C-4. Ya, aku manusia penuh dendam, 10 tahun lalu, ketika kami sedang mencari oleh-oleh di sebuah toko di bali, bom meledak dari kafe di samping toko, keluargaku tewas seketika, dahi kiriku terluka oleh serpihan kaca yang pecah berantakan akibat ledakan bom. Setelah beberapa minggu di Rumah Sakit Sang Lah, aku diadopsi oleh sebuah keluarga Amerika, mereka relawan dari Palang Merah Internasional.

Aku kemudian menjalani hari-hariku di Amerika. Dan setelah 2 tahun, aku kembali berduka, keluarga angkatku tewas di Spanyol. Kereta yang mereka tumpangi menuju Madrid untuk menghadiri undangan sebuah konsorsium donor, meledak, dibom oleh teroris. Oleh otoritas local di Los Angeles, aku dititipkan di sebuah sekolah swasta berasrama. Aku menamatkan sekolah menengahku disitu.

Tamat SMU, aku mengikuti sebuah rekrut yang diadakan oleh sebuah agensi anti terror. Program pelatihan 10 bulan kulalui tanpa banyak hambatan. Aku lulus dengan predikat terbaik. Aku direkrut oleh sebuah agensi tanpa nama. Tugasku memburu dan melemahkan sel-sel teroris di Asia Utara, Amerika Selatan, kadang aku berjibaku bersama para agen-agen dari Agensi lain memburu anggota Al Qaeda.

Aku tak pernah menangkap teroris itu hidup-hidup. Kutembak mereka tepat di antara kedua matanya. Setiap hari aku menyembunyikan 2 Glock30 10mm dipinggangku, 1 Feldmesser 78 di kaki kananku, dan di kaki kiriku terselip Berreta Px4storm 6.35mm. Aku tak pernah memasang kunci pengaman pada pistol-pistol itu. Dan setelah 6 tahun memburu teroris, saatnya membalas dendam lamaku. Aku kembali ke Indonesia dan mendaftar sebagai anggota Densus 88.

Dari visual yang ditangkap oleh kamera pengintai dan dikirim ke telepon selularku, aku tahu siapa penembak jitu itu. Ahmed Hasan, anggota sel teroris Mindanao yang entah kenapa dan kapan bisa masuk Jakarta. Ah, Negara ini tidak pernah belajar memperketat perbatasannya, hingga teroris se tenar Ahmad Hasan saja bisa melenggang di ibukota ini. Ini bukan masalah bom dan teroris, ini masalah pribadi. 5 tahun lalu, aku menghabisi 2 adik Ahmed Hasan di perbatasan Malaysia dengan Philipina di misi pertamaku di Asia Tenggara ini.

siiiiyusssssssssssgh…dhesg.” Satu lagi Lapua Magnum kaliber 8 mm itu ditembakkan dan mengenai meja tempatku berlindung. Dia memancingku agar mau keluar dari tempatku berlindung. “dhesg…dhesg… dhesg…dhesg”4 tembakan lagi diarahkan kepadaku. Satu lagi tembakan maka aku bisa berlari kearah dapur dan mengambil peluncur roket dari teroris bodoh yang tadi kulumpuhkan.

4 jam sebelumnya, aku mendapat informasi dari seseorang bahwa di hotel tempatku dihujani peluru ini akan dijadikan meeting point beberapa anggota teroris eks. Mindanao. Amat Patek alias Zulkifli Lubis juga dikabarkan akan ada di tempat ini. Aku langsung mengerahkan reguku untuk menggerebek tempat ini. Patek adalah orang yang bertanggungjawab atas Bom Bali 1 dahulu. Peristiwa yang membuatku sebatang kara. Luka di dahi ini harus terbalas.

Sampai di lokasi, aku sempat heran, gedung ini tak ubahnya seperti pemukiman rumah susun kumuh di pinggir Jakarta, tak tampak seperti hotel. Tapi aku segera menepis pikiran itu. Aku masuk gedung yang disebut hotel itu bersama rekan-rekanku. Jika melihat konstruksi dan desainnya, sepertinya bangunan ini lebih pantas disebut bekas hotel. Banyak coretan pylox tak beraturan, selebaran-selebaran iklan tertempel tak beraturan di dinding-dindingnya.

Aku memerintahkan reguku untuk tetap berhati-hati. Dan ternyata ini jebakan.3 anggota reguku dihabisi dengan AK 47 di selasar hotel tanpa perlawanan berarti. Hanya aku dan Rengga yang berhasil masuk ke sebuah ruangan. Aku mengamuk dan menembakkan Walther P99-ku kearah para penyerbu itu. Hasilnya, dari 5 orang penyerbu, 4 orang tewas terterjang peluru 9 mm yang kutembakkan. 1 orang yang membawa peluncur roket tewas terakhir. Rengga sempat membuatnya menyerah dan menangkapnya hidup-hidup, tapi ketika hendak memasang borgol di pergelangan tangan teroris itu, tiba-tiba Rengga rubuh, tertembak peluru sniper. Spontan aku meloncat dan membenturkan kepala teroris itu ke tembok sekeras mungkin.

dhesg..” akhirnya, 1 tembakan terlepas. Aku sudah menghitung tembakan Ahmed Hasan dengan cermat, sekarang dia harus mengisi ulang pelurunya dengan magazen yang baru. Aku berlari sekuat tenaga kearah peluncur roket m72LAW itu. Tapi ternyata hitunganku salah. “siyyyyuuut dhesg”..sebuah peluru menghantam lenganku. “Sial..aku salah hitung” gerutuku. Entah aku yang salah menghitung, atau Ahmed yang mengganti barrelnya lebih awal. Tapi aku berhasil mendekati peluncur roket itu. Sambil berlindung di balik pantry, aku membidik posisi Ahmed Hasan dengan scope di M72LAW ini. Hanya selang beberapa detik, meluncurlah sebuah roket menuju gedung seberang tempatku jongkok. Dan hanya selang beberapa detik pula, sebuah ledakan terjadi.

Sebelum ledakan, aku melihat Ahmed keluar dari ruangan tempat dia menembakiku. Aku bergegas turun. Kulihat dia di parkiran menaiki sedan merah dengan punggung masih berasap. Walther P99-ku sudah siap dengan barrel peluru yang baru, tapi aku tidak mempunyai kesempatan menembak. Terlalu banyak orang. Ahmed sudah meluncur dengan sedan itu. Porsche 911 GT2, betapa Negara ini sangat ceroboh. Membiarkan teroris kelas kakap berkeliaran dengan mobil mewah seperti itu. Aku memutuskan untuk mengejarnya. Sepertinya mustahil mengejar Porsche 911 GT2 dengan Mitshusbishi Strada Triton GLS, tapi ini Jakarta, aku yakin bajaj dan Metromini akan menyulitkannya.

Tak lama, kami sudah berkejaran di jalan sempit dan ramai ibukota. Kesempatanku hanya sampai di pintu masuk tol bandara. Karena setelah itu, dia akan dengan mudah menginjak gas dan menekan NOSnya melesat di jalan tol tersebut. Dan mesin triton GLS ini tak akan mungkin sanggup mengejarnya. Mobil ahmed terlihat menyerempet beberapa mobil disebelahnya, aku diuntungkan dengan chasis yang tinggi dari mobil ini, ban kanan mobilku melintas di trotoar, dan ban kiriku tetap di jalan raya.

Akhirnya, kesempatan terakhirku tiba, Ahmed kesulitan menyalip sebuah metromini yang menghalanginya, sementara aku bisa menginjak gas dan melesat diatas got. Aku bersiap menembakkan pistolku dari samping. Aku tidak butuh menangkapnya. Hanya satu tembakan saja di dahi kirinya, cukuplah. Kami sudah tiba di jalanan pinggir ibukota. Keempat ban mobilku sudah berada di aspal jalan raya semua. Dendamku hanya berjarak tak lebih dari 200 meter. Aku akan menyalip dan menghabisi Ahmed sebelum perempatan didepan.

Tiba-tiba, aku mendengar sirine meraung-raung disertai gemuruh mesin sepeda motor. Ahmed sudah melintasi perempatan, dia menyerobot lampu yang masih merah. Secara mengejutkan, sebuah sepeda motor Tiger dengan modifikasi a la motor polisi berhenti di muka perempatan. Dia menutup jalan dari arahku dengan menghentikan motornya itu ditengah jalan, dan dengan pongahnya, dia melambaikan tangan, menyuruh teman-temannya untuk melintas. Aku marah, kubidik kepala pengendara motor itu. Dia menghalangi jalanku, sementara Ahmed sudah melesat kencang. “dorr…” satu tembakan meluncur dari senjataku. Dalam hitungan detik, peluru itu menghancurkan sirene yang dipasang dibawah tangki motor Tiger itu. Ya, aku masih waras, aku berhasil mengendalikan emosiku dan batal menembak kepala pengendara anggota touring itu. Dengan kepala yang masih panas, aku turun dari mobil, kusarungkan pistolku dipinggangku, kuhampiri pengendara motor sombong yang tampak kebingungan dengan apa yang terjadi pada sirenenya itu. Kutendang dadanya hingga terjatuh dari motor, setelah jatuh, kuhajar muka dan tubuhnya dengan pukulan dan tendanganku. Tak berapa lama, salahsatu teman dari pengendara motor itu mendekat ke tempat aku menghajar orang itu. Rupanya mereka berhenti tak jau dari perempatan itu.

Belum sempat dia mengatakan sesuatu, aku sudah menodongkan pistolku ke wajahnya. Kutunjukkan tanda pengenal Densus 88ku sambil menghardiknya “Kalian telah menghalangi petugas resmi dalam pengejaran buron teroris paling dicari di Negara ini. Dan gara-gara tingkah bodoh sok kuasa kalian, dia lolos. Berdoa saja semoga bukan ibu, adik, atau keluarga kalian yang kepalanya pecah saat dia beraksi meledakkan bom lagi.” Aku masih marah. Kutendang dada orang yang menghampiriku itu. Dia roboh seketika. Aku kembali ke mobil dan pulang ke markas. Saat itu baru terasa lenganku sakit.

Nama asliku Ni Luh Nara Tirtakinanti