Saturday, April 9

Too Fast, Too Soon

A best friend may come in all things you meet everyday
Your laptop where you can share everything through its keys
A small book where you may write every piece of feeling
An old motorcycle that you ride to wherever you go
And even a little dog

She's just an ordinary dog
People are not able to sell her for million rupiah
or send her to a dog contest

She's just a dog
with black and white curly hair
small eyes and round body

You laugh at her when she comes to you with her pure eyesight
You smile at her when she licks your fingers
She is by your side when you walk around
For sure, she is always there
standing beside an old chair,
waiting you everyday

When she goes
You'll never think that you cannot find her anymore
When you look at the old chair
There's no laugh anymore
When you sit on the old chair
No one licking your fingers
When you walk around
No one walking beside you

Yes, she's just a dog
Yet, you never think that she has given you much happiness
more than you ever know
And you are hurt much
realizing that you cannot lend any help and only say "too fast, too soon"

After a day of silence
You suddenly think that that's just life
You cannot win every single battle you face
And you can only thank for the happiness a best friend has shared
and for the pain of losing


In memoriam of Moeynahan Uznich Spears a.k.a Miyatun


Tuesday, March 29

Di Batas Senja 1 : Tlah Lekang Oleh Usia

Index cerbung :




cerita ini hanya fiktif belaka, jika terdapat kesamaan kisah dan atau kesamaan nama tokoh, itu merupakan kebetulan yang tidak disengaja






Di sebuah pinggiran kota kecil, hiduplah seorang kakek pemusik. Di rumahnya yang tidak begitu besar, terdapat banyak sekali alat musik tua yang terawat dengan baik. Orang-orang di sekitar
tempat tinggalnya biasa memanggil si kakek, mBah Broto, karena penampilannya yang mirip tokoh serial TV "Losmen" yang diperankan Mang Udel dulu. Baju beskap biru, sarung, dan tak lupa, setiap sore beliau biasa memainkan gitar kroncong kesayangannya di serambi rumah kecilnya yang asri. Beliau tinggal sendirian di rumah itu. Hanya ada Bu Yahmi yang setiap pagi membantu mBah Broto mencuci dan beres-beres rumah. Sore hari, kadang ada anak-anak kecil yang berlatih memainkan alat musik. Tapi hanya sekedar bermain-main saja. mBah Broto mengizinkan anak-anak di kampung untuk memainkan alat-alat musik koleksinya. Padahal itu alat-alat mahal yang mungkin pembuatnya saja sudah tidak ada.



Tidak ada yang mengetahui siapa sebenarnya mBah Broto. Nama asli beliau adalah Dr. Pamerdi Asmarandana, seorang ilmuwan musik yang dahulu terkenal dengan aransemen-aransemen klasik dan dimainkan oleh orkestra-orkestra dunia. Beliau juga pernah menjadi konduktor untuk orkestra-orkestra terkenal seperti Royal Philharmonic Orchestra, Melbourne Symphonic Orchestra, dan masih banyak lagi. Beliau menggemari musik keroncong. Dahulu, beliau mempunyai sebuah grup keroncong lengkap yang beliau bina di sela-sela kesibukannya membuat aransemen. Tak jarang grup keroncong yang beliau latih ini tampil untuk acara-acara di TVRI, satu-satunya stasiun televisi di Indonesia waktu itu.




mBah Broto dulu pernah kuliah di sebuah Institut seni di Yogyakarta, dan setelah menamatkan pendidikannya disana, beliau mendapatkan kesempatan untuk belajar musik di sebuah universitas di Jerman. Disana pula dia membangun relasi dengan musisi-musisi klasik terkenal untuk mau berkunjung ke Indonesia dan mengadakan konser di negara ini. Dan karena dedikasinya yang tinggi di bidang musik klasik dan kegetolannya dalam mengembangkan seni tradisi keroncong, sebuah universitas terkemuka di Jepang menganugerahinya dengan gelar doktor honoris causa. Tapi itu hanya masa lalu. mBah Broto berpedoman untuk tidak menceritakan masa lalunya itu pada orang-orang di sekitarnya. Takut dikira sombong pikirnya. Sekarang beliau menikmati masa tuanya di desa. Mengandalkan hasil pensiun dari tempat beliau mengajar dahulu. Kecil, tidak seberapa, hanya cukup untuk hidup dan memberikan sedikit upah untuk Bu Yahmi yang membantunya setiap pagi. mBah Broto tidak mempunyai keluarga. Beliau tidak pernah menikah. Kesibukannya dahulu telah melahap waktunya hingga tanpa beliau sadari, usianya beranjak senja.




Tidak ada lagi pekerjaan mengabah orkestra, atau membuat aransemen untuk grup orkestra dunia. Di usia senjanya, beliau banyak menghabiskan waktunya untuk menanam ketela pohung di belakang rumah kecilnya. Inilah sisa materi dari dedikasinya dahulu. Semenjak memutuskan untuk pensiun dari dunia musik dan berhenti melanglang buana beliau pulang ke Indonesia, tak banyak yang bisa beliau lakukan. Orang sekarang lebih senang mendengarkan musik-musik yang mudah dan syairnya tidak membuat pening kepala. Tak banyak orang yang menghargai musik klasik, jangankan musik klasik, musik keroncongpun sekarang jarang sekali di perdengarkan. Kalah dengan dendang melayu a la artis-artis karbitan yang suaranya mepet.




Hampir tidak ada jiwa dalam musik-musik itu, tapi orang suka, band-band dan penyanyi-penyanyi datang silih berganti tapi hanya numpang ngetop sebentar saja. Tidak ada yang betul-betul menghadirkan sebuah komposisi musik dan syair yang benar-benar bisa dinikmati lama, seperti karya-karya Gesang yang begitu abadi dan masih tetap cocok dengan jaman apapun. Sekarang, bahkan anak-anakpun terampas masa kanak-kanaknya karena terlalu asyik menonton televisi yang menampilkan begitu banyak lagu-lagu yang sebetulnya untuk orang dewasa. Lagu anak-anak tenggelam seiring komersialisasi hiburan yang kurang mengakomodasi hiburan untuk anak-anak. Padahal, lagu-lagu anak karya sahabat-sahabat mBah Broto seperti Ibu Soed, Pak AT Mahmud itu mengajarkan anak-anak banyak hal. Lagu-lagu seperti Desaku, Berkibarlah Benderaku, Bendera Merah Putih, dan banyak lagi itu mengajarkan kepada anak-anak untuk mencintai negerinya. Membantu apa yang disebut character building of nation, pikir mBah Broto.




Bagaimanapun juga, seniman ikut bertanggung jawab dalam membangun karakter negeri ini. Karena karya-karya mereka dapat menjadi propaganda untuk membangun karakter bangsa. Hari ini mBah Broto kembali trenyuh. Beliau sayup-sayup mendengar anak-anak kecil berjalan di belakang rumahnya untuk berangkat ke sekolah sambil berdendang lagu Andai Ku Jadi Gayus Tambunan. Entah apa yang ada di benak mereka. Sedari kecil mereka dicekoki dengan lagu yang begitu mengagungkan kemapanan materi dan kenyamanan hidup, tanpa mempedulikan bagaimana materi itu dicapai.




Di usia senjanya, sebenarnya beliau terpikir membuat sebuah sajian untuk masyarakat Indonesia, beliau ingin sekali lagi saja kembali menaiki panggung dan menyajikan irama-irama keroncong yang selama ini mBah Broto coba untuk aransemen kembali dengan sedikit sentuhan pop, sekedar untuk mengobati kerinduannya bermusi, dan juga agar anak-anak muda kembali tertarik dengan musik warisan itu. Tapi beliau belum tahu bagaimana caranya membuat sebuah pagelaran. Dahulu beliau tidak pernah mempelajari bagaimana sebuah pertunjukan itu diselenggarakan. Sebenarnya inilah penyesalan beliau, beliau hanya tahu bagaimana menyajikan sebuah lagu itu dan menjadikannya terdengar menarik di telinga. Sampai pada suatu hari. Datanglah seorang anak muda ke rumahnya.




Siapakah anak muda itu? Lalu bagaimana dengan impiah mBah Broto untuk membuat sebuah pagelaran seni keroncong? meski hanya untuk sebuah peringatan 17 agustus? ikuti kisahnya di sini dan disini





satu seri dari sebuah trilogi untuk mengikuti kecubung 3 warna




Monday, March 14

Negri di Awan : Sidang Para Batara



Syahdan kata sahibul hikayat, di khayangan di rentang waktu masa depan yang tak jauh dari masa tulisan ini ditulis. Sang Hyang Batara Wisnu sedang gundah gulana hatinya. Apa yang membuat Sri Narayana gelisah, tak lain adalah hasil sidang paripurna para batara yang baru saja dia ikuti. Adapun keputusan besar dari sidang paripurna itu adalah penugasan kepada Batara Siwa untuk segera mengembalikan keseimbangan bumi manusia. Keputusan ini diambil secara aklamasi Dewan Batara di Paseban Agung tahunan mengingat tingkah manusia bumi yang sudah mbambung dan lupa kepada alam yang sudah mengasuh mereka sejak awal kehidupan.



Mengembalikan keseimbangan bumi berarti membuat kiamat. Menghancurkan semua umat manusia dan peradabannya, lalu Sang Hyang Brahma akan menciptakan kembali kehidupan seperti awal mula peradaban. Terakhir Sang Nilakantha memencet tombol reset sistem bumi ini adalah 40.000 tahun yang lalu, tak lama setelah perang besar di padang Kurusetra. Dan hasilnya sungguh ngeri. Meteor yang tak terlalu besar, hanya sebesar kereta kuda, tapi menghantam bumi dengan kecepatan yang luar biasa. Meteor itu jatuh tepat di sebelah benua terbesar pada masa itu, mengakibatkan tsunami yang tak terukur dengan skala richter. Gempa dahsyat yang menyebabkan semua lempeng bumi bergetar, menyebabkan gempa dahsyat yang mengguncang seluruh permukaan bumi. Semua gunung api meletus dan menyemburkan magma panas dan wedhus gembel.



Kiamat besar itu pernah terjadi. Tak ada yang selamat dari kiamat itu, bahkan bakteri precil sekalipun, dan untuk beberapa lama, bumi menjadi alam tandus yang tak terhuni, sampai kemudian Batara Brahma menciptakan 10 Prajapati, nenek moyang manusia bumi yang baru. Sang Dewa Pencipta juga menciptakan Sapta Resi, 7 orang bijak yang membantu manusia membangun peradabannya kembali.


Dulu, Batara Wisnu mempunyai kuasa untuk menitis ke bumi. Mengajari manusia untuk mencintai alam dan lebih bijak dalam mengolahnya. Dia pernah menjelma menjadi Narasinga untuk mengingatkan raja lalim, Hiranyakasipu yang semena-mena terhadap rakyatnya. Dia juga pernah menitis menjadi ikan Matsya yang mengingatkan Raja Satyabrata akan bencana air bah yang mengancam bumi, dan beberapa jelmaan lagi yang beliau lakukan untuk memperingatkan manusia bumi agar patuh dan bersahabat dengan alam.


Tapi semenjak Dewan Batara tahu bahwa Batara Wisnu beberapa kali nyaru ke dunia, kuasa tersebut dicabut dari beliau. Sri Narayana tak lagi bisa menitis ke dunia dalam rupa apapun. Beliau hanya bisa mengirimkan tanda-tanda alam. Tapi sayang manusia sekarang tidak mampu membacanya. Mereka tetap saja cuek dan leleh luweh sama alam sekitarnya.


Koran dari bumi langganan Batara Wisnu baru saja datang. Beliau segera meletakkan koran itu setelah membaca sekilas tentang bencana Tsunami di Jepang, banjir bandang di Pidie. Ah, rupanya Batara Siwa sudah mulai melaksanakan tugasnya. Rupanya Sang Rudra memilih untuk membuat kiamat secara gradual. Tidak sekali pencet seperti apa yang terjadi 40.000 tahun yang lalu. Sedikit demi sedikit, bumi mulai bergeliat menuju pada keseimbangannya.


Sambil leyeh-leyeh di belakang istananya, Batara Wisnu membaca kolom demi kolom koran harian itu. Dari jauh terdengar lagu Katon Bagaskara yang menyanyikan lagu "Negri di Awan". Sambil menghayati kata-kata di lirik lagu itu, Sang Wisnu teringat kembali pada masa dahulu, ketika bumi masih ijo royo-royo. Sungai-sungai masih mengalir bersih tanpa sampah. Udara begitu segar dan sejuk. Bumi begitu damai, tanpa suara motor yang meraung-raung, ato mesin pabrik yang menggemuruh memekakkan telinga. Musim berganti secara teratur, sehingga para petani bisa mengatur tanaman mereka sedemikian rupa, sehingga mereka bisa panen secara teratur. Sawah dan ladang menghijau dikaki gunung yang menjulang biru. Angin sepoi-sepoi membelai rambut anak gembala yang menggembalakan ternak mereka di padang savana. Sementara di pinggir pantai, anak nelayan tergopoh-gopoh membantu ayahnya mengangkat hasil melaut semalam. Matahari semburat jingga menghiasi fajar yang mulai menyapa, diiringi riak gelombang pantai dan nyanyian camar mengidungkan tembang kedamaian.


Tiba-tiba, Batara Wisnu teringat sebuah klausul dari keputusan Sidang Batara tadi. Disitu termaktub bahwa jika saja ada manusia yang memang betul-betul sadar dan mau memelihara alam, maka demi hukum dan tata laksana jagad raya, kiamat untuk keseimbangan bumi bisa di postpone. Syaratnya, Batara Wisnu harus benar-benar meyakinkan Batara Siwa bahwa memang betul-betul ada manusia bumi yang memang peduli dengan lingkungannya. Di benaknya terpikir sebuah rencana untuk mengusahakan kiamat bumi bisa di tunda. Tanpa basa-basi lagi, Sang Narayana segera menuju ke garasi Garuda 2.0, sebuah kendaraan terbang dengan tenaga surya dengan label eco friendly pada mesinnya.


Di tengah-tengah penerbangannya, Sang Narayana mengeluarkan Iphone4 kepunyaannya. Ditekannya tombol speed dial kepada Batara Siwa "Halo, Adinda Trinetra, bisakah kita bertemu sebentar? Ada sesuatu yang ingin aku lobi kepadamu adinda." Dan Batara Siwa pun menjawab " Silahkan Kanda Narayana, kebetulan aku sedang reses dan bersantai di rumah." "Baiklah kalau begitu, aku sedang dalam perjalanan menuju Gunung Kailasha" Tukas Batara Wisnu. "Kutunggu kedatanganmu kanda" Jawab Batara Siwa dalam telepon.


Garuda 2.0 dirancang untuk melaju dengan kecepatan tinggi, namun tetap hemat energi, diatas kokpit kemudi, terdapat panel tenaga surya untuk menghimpun panas matahari dan kemudian diubah menjadi tenaga untuk menggerakkan mesin berkapasitas 5.8 L, yang mampu menghasilkan tenaga 580 PS atau setara dengan 450 kW dan torsi 560 Nm. Dengan tenaga dan torsi sebesar itu, Garuda 2.0 bisa melaju dari kecepatan 0-120 km/jam hanya dalam waktu 1.8 detik saja, baik di jalan darat maupun di udara. Dengan kemampuan secepat itu Batara Wisnu hanya membutuhkan waktu tidak lebih dari 20 menit untuk sampai di Gunung Kailasha, tempat Batara Siwa bertahta.


Sang Narayana mengurangi kecepatannya ketika memasuki komplek istana Batara Siwa, pemandangan di kanan kiri jalan yang menuju kediaman Sang Dewa penghancur sungguh mencekam. Hutan dengan pohon-pohon besar dan daun yang lebat tak terawat, berkabut, sunyi dan menyeramkan. Tidak ada tanda-tanda kehidupan disana. Garuda 2.0 melaju mendekati gerbang istana yang terbuka dengan sendiri. Pelan tapi pasti, kendaraan super itu berjalan mendekati istana. Dan pemandangan didalam gerbang ini sungguh berbeda dengan apa yang terlihat di luar gerbang tadi. Awan putih menghampar di sisi kanan kiri jalan, dan tampak sebuah istana megah dan besar.


"Selamat datang kanda Narayana, ada apa gerangan?" Dan setelah berbasa-basi sejenak. Batara Wisnupun mulai menceritakan klausul tentang penundaan kiamat bumi itu dan alasan kenapa Batara Siwa harus menunda pekerjaannya. Dan Sang Jagatpati berujar "Kanda, sebenarnya aku juga menaruh simpati kepada manusia bumi. Bagaimanapun juga mereka masih muda, sepertinya terlalu berlebihan bila Dewan Batara memutuskan untuk memusnahkan mereka dengan segera, tapi bagaimanapun juga kanda harus mengerti, aku hanya menjalankan tugasku sebagai penjaga keseimbangan bumi." "Aku mengerti dinda, tapi bukankah manusia bumi ini masih terlalu muda? Mereka masih belajar untuk menghargai alam bukan? Cobalah engkau pertimbangkan lagi, terakhir adinda menyelenggarakan kiamat agung, ketika manusia bumi sudah dewasa, sudah mengerti tentang akibat apa yang mereka perbuat, tapi tetap saja mereka mbambung." Batara Wisnu mencoba meyakinkan Sang Siwa, "Baiklah kanda, sebagai rasa hormatku padamu, aku akan mencoba untuk mencari sisik melik ke bumi, aku akan mencoba menyelidiki tentang bagaimana sebenarnya kehidupan di bumi sekarang ini. Dan jika benar perkataanmu itu, aku akan menggunakan Hak Veto-ku untuk menunda kiamat bumi" Jawab Batara Siwa menanggapi pernyataan Batara Wisnu kakaknya.


Singkat kata, Dewa Siwa pun menitis ke bumi dan menjelma menjadi manusia untuk mencari keterangan dan informasi tentang sejauh mana manusia bumi mau menjaga alam anugerah yang kuasa itu


Mau tau Batara Siwa ketemu siapa di bumi? Kira2 jadi ndak kiyamat bumi demi keseimbangan alam? Lalu taktik apa yang dijalankan Batara Wisnu biyar bumi endak kena penalti kiyamat?...klik disini ya! lalu terusannya lagi ada disini


Trilogi Negri di Awan:
1) “Negri di Awan : Sidang Para Batara” (saya sendiri)
2) Negri di Awan : Kemana Angin Mengalir (Dewo)
3) Negri di Awan : Menuju Negri Impian” (Jeng Devi)



Monday, September 6

-Part 8-

Jebakan


Namaku, Nara Stoijchkoff, anggota aktif Densus 88 antiteroris. Dua peristiwa pemboman yang menewaskan orang-orang yang aku sayangi membuatku mengubah kesedihanku menjadi kekuatan menakutkan. Saatnya menagih dendam


Dari fakta yang ku rekonstruksi bersama Targa dan Pak Keisuke, rupanya aku terpaksa percaya bahwa plot pembunuhan RI 1 itu betul-betul ada. Keterlibatan intelejen Malaysia dalam plotting ini juga semakin santer kuendus. Dari dokumen-dokumen kami di Densus 88 juga file-file lama yang disimpan oleh Pak Keisuke. Banyak peristiwa yang jika dibeberkan ke permukaan akan menjadi polemik. Bahkan mungkin bisa pecah perang. Isu bahwa negara tetangga itu sering menyerobot masuk ke wilayah perbatasan Indonesia bukan saya sebuah isapan jempol belaka. Bahkan sebuah fakta mencengangkan aku temukan dalam sebuah file audio hasil sadapan pembicaraan antara Perdana Menteri Malaysia yang dahulu ku tembak dahinya dengan peluru cat, dengan seorang petinggi Mahkamah Internasional. Malaysia menyuap 15 hakim yang berwenang melakukan voting untuk kepemilikan Pulau Sigadang dan Tasalembo, tempo hari. Dan hasilnya, 2 pulau itu jatuh ke wilayah Malaysia.

Aku dan Targa menuju TKP pembunuhan anggota brimob. Aku samasekali tidak membawa senjata, dan Targa menolak meminjamkan satu pistolnya untukku. Hal ini membuatku semakin curiga padanya. Jangan-jangan memang benar Targa hendak menjebakku dalam plot pembunuhan presiden ini. Sepanjang perjalanan kami diam. Aku segan untuk memulai pembicaraan sementara Targa sepertinya terlalu sibuk dengan isi dahinya. Hanya terdengar suara dari radio komunikasi di dashboard kiri mobil. Ada yang janggal dari pembicaraan di radio, dari dispatch maupun dari sesama agen di lapangan, tidak ada satupun yang membahas kejadian pembunuhan ini. Belum habis kecurigaanku. Targa sudah mengajakku turun. Kami sampai di TKP.

TKP masih sepi. Aku kembali keheranan, dari resto Pak Keisuke, kami membutuhkan waktu tempuh sekitar 20 menit. Sementara pos polisi terdekat bisa menjangkau tempat ini hanya dalam 10 menit. Kami memasuki rumah itu dengan hati-hati, Targa mulai mengeluarkan Walther P99-nya, dengan kunci pengaman sudah terbuka, Targa memegang pistol itu dengan moncong pistol menghadap ke tanah, persis seperti yang tertulis dalam prosedur standard operasi. Aku mengikuti Targa dari belakang. Targa melemparkan satu pistolnya ke arahku. Dengan sigap aku menangkap dan langsung bersiap menggunakannya. Sementara aku bersembunyi di samping pintu, Targa mendobrak dan merangsek masuk ke dalam rumah. Setelah memastikan tidak ada orang di dalam, aku segera masuk dan menyalip Targa yang bersembunyi di balik sebuah almari. Aku menerobos masuk ke ruangan berikutnya. Kulihat sesosok mayat dengan dada berlubang. Aku memberikan isyarat agar Targa segera mendekatiku.

Masih dengan pistol siap tembak, Targa mulai mendekati dan memeriksa mayat itu. Mayat pria ras asia berusia sekitar 40an tahun. Di lengan kiri mayat, terdapat sebuah tattoo bergambar elang yang mencengkeram pita, tanda sebuah kesatuan di Angkatan Laut. Orang ini benar-benar seorang serdadu sejati. Di rumah itu dipenuhi foto-foto mayat ini semasa hidupnya. Selain foto, terdapat sebuah pigura yang memajang beberapa lencana penghargaan tertempel di dinding, diapit dua bilah pedang pora yang dipasang saling menyilang.

Tak jauh dari mayat itu, tergeletak sebuah pistol Ruger SP101 kaliber 9 mm. Aku hapal semua merk dan jenis senjata hanya dengan sekali melihat. Pin pengaman pistol itu sudah terbuka. Sepertinya, si mayat sudah mengetahui jika nyawanya terancam. Aku menebak, dia ditembak dari luar rumah. Lubang peluru yang menembus dada kiri mayat itu cukup kecil, tembus langsung ke punggung kiri si mayat. Kami menemukan peluru yang menembus tubuh si mayat di dinding sebelah kiri seberang jendela. Di jendela kaca itu, ada sebuah lubang hasil terjangan peluru itu. Targa mengeluarkan peluru itu dari dinding. sebuah proyektil dengan dimensi yang terlihat gemuk dan panjang, dari warnanya peluru itu tidak terbuat dari campuran timbal dan besi, seperti pada proyektil biasa, tapi terbuat dari tembaga. “aku belum pernah melihat peluru seperti ini Ra’. Kamu?” Targa bertanya kepadaku.” Kaliber 7.62x51mm NATO .308, biasa digunakan untuk senapan-senapan buatan Israel seperti TCI M89-SR atau seri seri Galatz, tapi peluru ini sudah dimodifikasi. dengan proyektil sebesar ini, butuh mesiu yang cukup banyak agar bisa mendorong proyektil dan meluncurkannya dengan kecepatan maksimal, tapi selongsong peluru tidak terlalu besar agar bisa pas masuk kedalam chamber senapan.”

…dhesiiiggghhh” Belum sempat aku menyelesaikan analisaku, sebuah tembakan hampir mengenai dahi kananku. Arah tembakan persis sama dengan tembakan yang membunuh mayat itu. Tembakan kedua mengenai lengan Targa. Aku berlari dan menyeret Targa menuju tempat terlindung. Aku berlari menuju pintu belakang, sementara Targa memancing penembak itu dengan menembakinya. Aku keluar melalui jendela di samping rumah. Aku akan menjadi sasaran empuk jika aku keluar melalui pintu. Aku berlari menuju semak-semak di belakang rumah. Sepertinya si penembak belum mengetahui keberadaanku.

Aku bisa melihat posisi penembak dari tempatku bersembunyi. Cukup jauh dia berdiri sehingga aku tidak bisa membidiknya. Setelah yakin si penembak belum mengetahui keberadaanku. Aku melompat pagar belakang rumah dan langsung berlari menuju posisi penembak itu. Badanku terlindung diantara tumbuh-tumbuhan dan semak-semak yang banyak tumbuh di sekitar rumah. Aku membidik si penembak. “Berhenti, lemparkan senapanmu ke belakang dan taruh tanganmu di belakang leher.” Hardikku sambil menodongkan pistolku kea rah dahinya. Tanpa menghiraukan peringatanku, si penembak berbalik kearahku dan bersiap menembakkan senapannya. Aku tak mau kehilangan nyawaku. Dengan cepat, aku menarik pelatuk pistolku. Tak ayal, si penembak itu langsung roboh tak bernyawa. Tembakanku tepat mengenai dahi, dan menembus langsung mengenai otaknya.

Aku mendengar bunyi sirine polisi dan kegaduhan suara mobil berdatangan di halaman depan. 4 orang berseragam polisi lengkap dengan senjata taktis menghampiriku. Dia menyuruhku membuang pistolku ke arahnya, aku mencoba menjelaskan identitasku, tapi sepertinya dia tidak mau mendengarnya. Tanpa kusadari, dari belakangku, seseorang memegang tanganku dan memasangkan borgol di pergelanganku. Komandan polisi yang tadi menghardikku mengambil senapan si penembak yang kulumpuhkan tadi. Targa yang masih didalam rumah tampak masih kebingungan dengan apa yang terjadi. Tiba-tiba komandan polisi di dekatku itu membidik kepala Targa, ditariknya pelatuk senapan itu dan tak lama kemudian, robohlah kepala reguku itu bersimbah darah. Aku marah, aku memberontak dari dua orang yang membelengguku. Kutendang petugas berseragam yang di sebelah kiriku. Tendanganku mengenai lutut kanan, tampak dia mengerang kesakitan. Sambil menendang, kuserudukkan kepalaku ke dada petugas yang disebelah kananku. Gerakan tiba-tiba itu mengejutkan mereka. Dengan tangan masih terborgol ke belakang, aku bersalto sambil menarik tanganku melewati bawah pantatku. Tanganku sekarang berada di depan. Aku merebahkan badanku ke tanah, mengambil pistol yang tadi ku lempar dan belum sempat mereka ambil. Sayang, komandan polisi itu sigap dan dengan segera menembakkan senapan yang tadi ia gunakan untuk menembak Targa, aku melompat kesamping kiri dan terperosok ke tanah landai di samping rumah. Sampai di bawah, aku segera berlari melewati pagar dan menghilang di kegelapan. Pinggangku terasa nyeri tertembus peluru.

Aku, Ni Luh Nara Tirtakinanti dari Banjar Kerambitan.

Saturday, August 21

-Part 7-

Pengkhianatan

Namaku, Nara Stoijchkoff, anggota aktif Densus 88 antiteroris. Dua peristiwa pemboman yang menewaskan orang-orang yang aku sayangi membuatku mengubah kesedihanku menjadi kekuatan menakutkan. Saatnya menagih dendam


Setelah pamitan dan berjanji pada Mbok Komang bahwa aku akan sering pulang, aku beranjak meninggalkan Banjar Kerambitan, tempat yang memberiku denyut pada kehidupanku. Di sepanjang perjalanan, aku terngiang nasihat Mbok Komang, hanya dialah yang kuberi tahu tentang pekerjaanku sekarang. Dia berpesan untuk selalu ingat tujuan hidup dan kehidupan setelah kujalani hidupku yang sekarang. Jalanan yang kini sudah beraspal itu dulu hanya sebuah jalan kecil berbatu. Aku masih sempat membayangkan perjalanku dulu menuju sekolah yang letaknya cukup jauh dari rumahku. Aku bersepeda bersama-sama teman sebayaku. Di sadel belakangku, aku membawa makanan kecil buatan ibu yang nanti akan kutitipkan di kantin sekolah. Jika makanan kecil itu tidak habis, aku bersama teman-temanku akan berhenti sejenak di bawah Pohon Mahoni yang banyak tumbuh di pinggir jalan itu, dan menghabiskan sisa dagangan ibu. Daripada tidak dimakan dan terbuang, pesan ibuku. Pohon-pohon Mahoni itu sebagian sudah ditebangi untuk melebarkan jalan.


Lamunanku buyar ketika telepon selularku kembali berdering. “Intel kita menginformasikan, akan ada plot pembunuhan kepada Pasopati 1. Dan ada orang dalam yang terlibat. Kami belum dapat informasi yang jelas, tapi orang itu dari dalam istana.” Seru Targa dari speaker telepon. “Bukankah RI 1 sering mengeluhkan itu? Jangan-jangan itu seperti pidato beliau waktu itu. Dan itu ternyata tidak terbukti kan? Buktinya sampai sekarang beliau baik-baik saja, Paspampres itu digaji mahal dan diseleksi ketat bukannya tanpa alasan kan?” sanggahku. Jujur aku sudah cukup bosan mendengar pidato presiden bahwa dirinya sedang diincar oleh teroris. Sebuah kenyataan yang sebenarnya tabu untuk diungkap di muka publik, bukankah sebuah lembaga kepresidenan itu simbol kedaulatan negara? Bagaimana warga negara ini atau negara lain bisa menghormati kedaulatan itu jika presidennya selalu merasa terancam di rumahnya sendiri?


“tapi ini serius Ra’, sumber terpercaya kita mengkonfirmasi beberapa bukti. Aku juga sudah membuat analisa dari bukti-bukti yang kita punya, hasil rekonstruksiku dari dokumen yang kita sita dari penangkapan-penangkapan kita selama ini mengarah pada kemungkinan itu. Pasopati 1 akan ditembak dari jarak lebih dari 2 Km dari tempat dia berdiri.” Targa tetap antusias menerangkan teorinya. “2 Km? Hanya Bob Lee Swagger saja yang bisa mengambil tembakan itu Ga’, dan dia hanya hidup di dunia fiksi a la Hollywood.” Jawabku, tapi dalam benakku muncul sebuah ingatan sekitar 2 tahun yang lalu. Aku pernah menembak dahi Perdana Mentri Malaysia yang kini sudah habis masa jabatannya. Waktu itu aku berhasil mengenai dahi Perdana Mentri congkak itu dari jarak 2,142 Km dengan peluru cat. Dan sampai sekarang aku tidak pernah tertangkap untuk kejadian itu.


Targa menyanggah ucapanku “Cheytac M200 dirancang untuk menembak dari arah lebih dari 3 Km Ra’, aku tetap yakin kalau didunia ini ada orang dengan bakat unik seperti Swagger itu.” “Aku sudah sampai bandara, kita ketemu di Resto Jepang dekat Bandara Ngurah Rai, saluran ini sepertinya sudah di tap. Ada beberapa yang ingin aku bilang ke kamu Ra’…OK?” kata Targa mengakhiri pembicaraannya di telepon. Setelah mengiyakan perkataan Targa, kendaraanku memasuki jalan besar, aku segera memacu mobil dengan kecepatan tinggi, kuhidupkan lampu flash dan sirine pembuka jalan, dan perjalanku di jalur padat itu lancar tanpa menemui kemacetan sedikitpun. Tak lama aku sampai di tempat yang dimaksud Targa. Sebuah resto yang menyediakan masakan-masakan Jepang. Sang pemilik resto, Keisuke Tjokrohamidjojo adalah mantan anggota intelejen militer yang sudah lama tidak lagi aktif, tapi masih mendedikasikan dirinya membantu para agen dari berbagai kesatuan untuk melaksanakan tugas mereka. Ayahnya seorang anggota pasukan bela diri Jepang yang dalam penyamarannya menikah dengan Sitoresmi Tjokrohamidjojo, seorang putri bangsawan dari Solo. Salah satu dari bantuan itu adalah menyediakan sebuah ruang yang tidak bisa ditembus oleh gelombang apapun. Dia menyebutnya ruang hening. Ruang ini terletak sekitar 10 meter dibawah resto yang dikelolanya. Gelombang mikro dengan resonansi paling besarpun tidak akan bisa menembus kedalaman ruang ini.


Targa meletakan 2 pistol yang dari tadi dia sandang di pinggangnya agar dia bisa duduk dengan nyaman. Aku membuka tablet HP slate yang dipinjamkan Pak Keisuke. Dari Flashdrive-ku aku membuka beberapa dokumen rahasia hasil sitaan Densus 88 dari berbagai penangkapan. Ada beberapa yang memang mengarah pada plot pembunuhan Pasopati1, sandi kami untuk RI 1 alias Presiden Republik Indonesia. Tapi semua itu terputus pada penangkapan dan penumpasan yang kami lakukan. Tidak banyak bukti yang bisa mendukung teori pembunuhan ini. Kami belum menemukan motif yang kuat yang bisa mendasari seseorang dari daftar hitam kami untuk melakukan perbuatan yang mungkin akan menyebabkan revolusi besar-besaran di negeri ini. Aku mencoba merekonstruksi bukti dan kejadian yang aku alami selama 1 bulan ini. Mulai dari Ahmed Hassan yang bebas berkeliaran di negara ini, hingga percobaan pembebasan seorang gembong teroris dengan operasi yang tidak bisa dibilang kecil. Biasanya aku dengan mudah bisa mengendus rencana busuk para teroris itu sebelum mereka melakukan aksinya, tapi entahlah, mungkin nostalgiaku kemarin sedikit mengaburkan firasatku.


Dari atas, Pak Keisuke memanggil Targa, telepon seluler yang dia tinggal di ruang atas berkali-kali bordering. Hanya beberapa saat saja, Targa kembali ke ruang tempat kami berdiskusi, teman-teman di Jakarta berhasil menggerebek sebuah rumah pemondokan dan menangkap beberapa tersangka teroris. Mereka menemukan beribu-ribu amunisi dan puluhan amunisi kaliber 8.5 lapua magnum yang biasa digunakan untuk menembak dari jarak jauh. Diduga beberapa tersangka teroris berhasil meloloskan diri. Dari telepon selularnya itu, Targa memaki-maki anak buahnya, mereka dianggap tidak matang dalam merencanakan sebuah penggerebekan. Dari berbagai operasi, baru kali ini tersangka berhasil lolos dengan mudah.


Aku kembali berdiskusi dengan Targa. “Sepertinya info pesta bocor ke mereka Ga’, kamu tahu teman-teman kita bukan polisi kacangan kemarin sore yang bisa dengan mudah dikadali.” Aku sedikit membela teman-teman yang ada di Jakarta. “Kamu mau bilang kalau di unit kita ada penghianat?” Tebak Targa. “Kita tidak bisa menutup mata. Hampir setiap agensi pernah mengalami hal itu Nak Targa.” Tukas Pak Keisuke yang tiba-tiba masuk membawakan kami dua gelas dan satu poci sake. Targa dengan ketus menjawab “Tapi tidak di Densus 88 Keisuke San.” Tapi dengan sengit Pak Keisuke cepat-cepat menjawab “Justru terkhusus Densus 88.” Diapun mulai bercerita sambil menuang sake dalam poci kedalam gelas. “Dulu, sebelum ada Densus 88, pengamanan teroris di negara ini dibebankan kepada tentara. Aku bergabung dalam sebuah detasemen dibawah marinir AL, Detasemen Jala Mangkara, salahseorang temanku berkhianat dan menjual informasi kepada negara tetangga kita. Dan akibatnya, kita kehilangan pulau Sipadan. Setelah itu, Denjaka dibekukan, dan disinilah aku…hehehehe.” Sambil menyerahkan sake kepada kami dia melanjutkan “Ingat Nara, Targa… ketika kalian bermain-main dengan informasi rahasia, kalian meletakkan kaki kaki kalian pada sebuah paradox, pada hal-hal yang saling bertolak belakang.”


Betul apa yang dikatakan Pak Keisuke. Sebuah kebanggaan bisa mengaburkan penilaian kita. Memang sejak berdiri, hampir bisa dibilang Densus 88 adalah sebuah detasemen dengan kinerja paling sempurna. Aku memang tidak mengawal detasemen ini sejak awal. Tapi aku bisa merasakan dedikasi dan pengabdian para agen-agen Densus 88. Aku ingat kejadian saat percobaan pembebasan Paijan 1 beberapa waktu yang lalu. Sebenarnya banyak kejanggalan yang aku tangkap dari kejadian waktu itu. Meski sudah 2 tahun lebih aku bekerja dalam resimen ini, aku belum terlalu bisa berbagi informasi dengan teman-teman yang lain dalam timku. Sebelum bergabung dengan detasemen elit ini , aku banyak bekerja sendirian.

Pak Keisuke kembali ke restonya, sambil menekan tombol lift, dia mengingatkan bahwa satu jam lagi, makan malam siap. Aku kembali pada data laporan tertulis dari operasi pengiriman Paijan beberapa waktu yang lalu,yang baru saja terkirim ke tablet HP slide ini. Aku mulai meneliti lagi data-data dan foto-foto yang dikirim dari Densus 88 unit Jakarta, termasuk skema terowongan air yang aku gunakan untuk menghindari tembakan Ahmed Hassan. Dari skema itu, aku bisa melihat bahwa ternyata banyak sekali ujung terowongan di sekitar tempat tertembaknya Manggor. Aku mulai bertanya-tanya, darimana Ahmed Hassan mengetahui terowongan yang aku lewati dan menunggu kami disana. Lalu kejadian penyerangan di selasar diantara dua gedung tua. Termasuk misil darat yang menghantam mobil kami. Dari foto forensik, ada sebuah fragmen misil yang menarik perhatianku. Sebuah lokator digital yang tidak ikut meledak dengan misil darat itu. Melihat jarak mobil kami dengan penembak misil yang lebih dari 500 meter, mustahil misil itu hanya dibantu dengan heat seeker biasa. Seseorang pasti menempelkan chip pemandu di mobil pengangkut tahanan itu agar misil dapat menghantam tepat pada mobil itu. Lokator digital itu hanya sebesar ujung kelingking orang dewasa, dan aku yakin, forensik pasti melewatkan satu bagian kecil ini.


Aku masih belum membagi temuanku dengan Targa. Teoriku masih terlalu mentah, orang itu sangat bangga dengan kesatuan yang dipimpinnya, dan kadang hal itu mempengaruhi kredibilitasnya dalam menyidik sebuah kasus. Aku tidak mau kasus ini hilang begitu saja hanya karena keteledoran satu orang. Aku baru menyimpulkan bahwa jika memang ada pengkhianat, pasti dari Densus 88 sendiri. Memang operasi waktu itu merupakan sebuah operasi gabungan dari berbagai agensi intelejen di negara ini, tapi eksekutor di lapangan diserahkan penuh pada Densus 88, termasuk dalam memilih mobil yang kami gunakan untuk mengangkut para Paijan. Aku menduga bahwa Targa mungkin terlibat dalam plot pembunuhan RI 1 ini. Dan kemungkinan dia mengajakku agar dia punya seseorang untuk disalahkan.

Targa sempat mengetahui bahwa aku mempunyai dokumen-dokumen dan bukti-bukti kuat tentang kecurangan sang RI 1 dan partai yang dia pimpin dulu ketika masa pemilihan umum. Bukti-bukti sebenarnya akan diolah oleh seorang pimpinan sebuah lembaga pemberantasan korupsi di negara ini, namun apa daya, sang pimpinan berhasil dijebak dan terjungkal ke penjara. Dan jika bukti ini sampai muncul ke permukaan, revolusi besar-besaran bisa terjadi di republic ini, dan aku terlalu mencintai negara ini untuk membiarkan itu terjadi. Dan motif ini bisa mengantarku ke penjara, belum lagi jika Targa berhasil memainkan skenarionya, aku mungkin akan langsung di eksekusi agar tidak bersaksi di pengadilan. Entahlah, teori ini masih sangat mentah dan butuh banyak hal untuk aku kembangkan. Sementara aku tidak lagi mempunyai teman yang aku percaya.


Kami keluar dari ruangan hening itu. Waktunya makan. Banyak yang kami obrolkan dengan Pak Keisuke, orang tua itu ternyata mengabdikan lebih dari separuh hidupnya untuk mengamankan negara ini dari musuh-musuh yang ingin menggerogoti kedaulatan negara ini. Sayup-sayup terdengar di siaran berita yang kami tonton sambil makan, berita tentang Menteri Luar Negeri yang menyetujui penukaran pencuri ikan dari negara tetangga dengan aparat negara yang ditangkap oleh polisi diraja negeri tetangga. Pak Keisuke langsung berkomentar panjang lebar tentang berita itu. Tak lama kemudian, di sebuah talk show, juga di stasiun televisi berita itu, membahas tentang pernyataan Menteri Luar Negeri itu. Mereka menghadirkan Jonas Herbert Tuhuteru, seorang tokoh nasional yang begitu perduli dengan wilayah kelautan negara ini. Pak Keisuke sempat bercerita bahwa dia sempat bekerja sama dengan J.H. Tuhuteru dalam sebuah riset tentang batas wilayah kelautan negara-negara di asia tenggara. Besok, J.H. Tuhuteru juga akan menyampaikan sebuah makalah di depan para peserta konferensi.


Belum sempat kami menyelesaikan makan malam kami, alat komunikasi kami berbunyi. Panggilan darurat dari Densus 88 unit Denpasar. Mereka melaporkan bahwa terjadi pembunuhan seorang anggota Brimob di sebuah bank di kawasan Legian. Menurut saksi mata, anggota brimob tersebut tertembak di bagian dada. Kami segera meluncur ke lokasi

Aku, Ni Luh Nara Tirtakinanti dari Banjar Kerambitan.