Monday, September 6

-Part 8-

Jebakan


Namaku, Nara Stoijchkoff, anggota aktif Densus 88 antiteroris. Dua peristiwa pemboman yang menewaskan orang-orang yang aku sayangi membuatku mengubah kesedihanku menjadi kekuatan menakutkan. Saatnya menagih dendam


Dari fakta yang ku rekonstruksi bersama Targa dan Pak Keisuke, rupanya aku terpaksa percaya bahwa plot pembunuhan RI 1 itu betul-betul ada. Keterlibatan intelejen Malaysia dalam plotting ini juga semakin santer kuendus. Dari dokumen-dokumen kami di Densus 88 juga file-file lama yang disimpan oleh Pak Keisuke. Banyak peristiwa yang jika dibeberkan ke permukaan akan menjadi polemik. Bahkan mungkin bisa pecah perang. Isu bahwa negara tetangga itu sering menyerobot masuk ke wilayah perbatasan Indonesia bukan saya sebuah isapan jempol belaka. Bahkan sebuah fakta mencengangkan aku temukan dalam sebuah file audio hasil sadapan pembicaraan antara Perdana Menteri Malaysia yang dahulu ku tembak dahinya dengan peluru cat, dengan seorang petinggi Mahkamah Internasional. Malaysia menyuap 15 hakim yang berwenang melakukan voting untuk kepemilikan Pulau Sigadang dan Tasalembo, tempo hari. Dan hasilnya, 2 pulau itu jatuh ke wilayah Malaysia.

Aku dan Targa menuju TKP pembunuhan anggota brimob. Aku samasekali tidak membawa senjata, dan Targa menolak meminjamkan satu pistolnya untukku. Hal ini membuatku semakin curiga padanya. Jangan-jangan memang benar Targa hendak menjebakku dalam plot pembunuhan presiden ini. Sepanjang perjalanan kami diam. Aku segan untuk memulai pembicaraan sementara Targa sepertinya terlalu sibuk dengan isi dahinya. Hanya terdengar suara dari radio komunikasi di dashboard kiri mobil. Ada yang janggal dari pembicaraan di radio, dari dispatch maupun dari sesama agen di lapangan, tidak ada satupun yang membahas kejadian pembunuhan ini. Belum habis kecurigaanku. Targa sudah mengajakku turun. Kami sampai di TKP.

TKP masih sepi. Aku kembali keheranan, dari resto Pak Keisuke, kami membutuhkan waktu tempuh sekitar 20 menit. Sementara pos polisi terdekat bisa menjangkau tempat ini hanya dalam 10 menit. Kami memasuki rumah itu dengan hati-hati, Targa mulai mengeluarkan Walther P99-nya, dengan kunci pengaman sudah terbuka, Targa memegang pistol itu dengan moncong pistol menghadap ke tanah, persis seperti yang tertulis dalam prosedur standard operasi. Aku mengikuti Targa dari belakang. Targa melemparkan satu pistolnya ke arahku. Dengan sigap aku menangkap dan langsung bersiap menggunakannya. Sementara aku bersembunyi di samping pintu, Targa mendobrak dan merangsek masuk ke dalam rumah. Setelah memastikan tidak ada orang di dalam, aku segera masuk dan menyalip Targa yang bersembunyi di balik sebuah almari. Aku menerobos masuk ke ruangan berikutnya. Kulihat sesosok mayat dengan dada berlubang. Aku memberikan isyarat agar Targa segera mendekatiku.

Masih dengan pistol siap tembak, Targa mulai mendekati dan memeriksa mayat itu. Mayat pria ras asia berusia sekitar 40an tahun. Di lengan kiri mayat, terdapat sebuah tattoo bergambar elang yang mencengkeram pita, tanda sebuah kesatuan di Angkatan Laut. Orang ini benar-benar seorang serdadu sejati. Di rumah itu dipenuhi foto-foto mayat ini semasa hidupnya. Selain foto, terdapat sebuah pigura yang memajang beberapa lencana penghargaan tertempel di dinding, diapit dua bilah pedang pora yang dipasang saling menyilang.

Tak jauh dari mayat itu, tergeletak sebuah pistol Ruger SP101 kaliber 9 mm. Aku hapal semua merk dan jenis senjata hanya dengan sekali melihat. Pin pengaman pistol itu sudah terbuka. Sepertinya, si mayat sudah mengetahui jika nyawanya terancam. Aku menebak, dia ditembak dari luar rumah. Lubang peluru yang menembus dada kiri mayat itu cukup kecil, tembus langsung ke punggung kiri si mayat. Kami menemukan peluru yang menembus tubuh si mayat di dinding sebelah kiri seberang jendela. Di jendela kaca itu, ada sebuah lubang hasil terjangan peluru itu. Targa mengeluarkan peluru itu dari dinding. sebuah proyektil dengan dimensi yang terlihat gemuk dan panjang, dari warnanya peluru itu tidak terbuat dari campuran timbal dan besi, seperti pada proyektil biasa, tapi terbuat dari tembaga. “aku belum pernah melihat peluru seperti ini Ra’. Kamu?” Targa bertanya kepadaku.” Kaliber 7.62x51mm NATO .308, biasa digunakan untuk senapan-senapan buatan Israel seperti TCI M89-SR atau seri seri Galatz, tapi peluru ini sudah dimodifikasi. dengan proyektil sebesar ini, butuh mesiu yang cukup banyak agar bisa mendorong proyektil dan meluncurkannya dengan kecepatan maksimal, tapi selongsong peluru tidak terlalu besar agar bisa pas masuk kedalam chamber senapan.”

…dhesiiiggghhh” Belum sempat aku menyelesaikan analisaku, sebuah tembakan hampir mengenai dahi kananku. Arah tembakan persis sama dengan tembakan yang membunuh mayat itu. Tembakan kedua mengenai lengan Targa. Aku berlari dan menyeret Targa menuju tempat terlindung. Aku berlari menuju pintu belakang, sementara Targa memancing penembak itu dengan menembakinya. Aku keluar melalui jendela di samping rumah. Aku akan menjadi sasaran empuk jika aku keluar melalui pintu. Aku berlari menuju semak-semak di belakang rumah. Sepertinya si penembak belum mengetahui keberadaanku.

Aku bisa melihat posisi penembak dari tempatku bersembunyi. Cukup jauh dia berdiri sehingga aku tidak bisa membidiknya. Setelah yakin si penembak belum mengetahui keberadaanku. Aku melompat pagar belakang rumah dan langsung berlari menuju posisi penembak itu. Badanku terlindung diantara tumbuh-tumbuhan dan semak-semak yang banyak tumbuh di sekitar rumah. Aku membidik si penembak. “Berhenti, lemparkan senapanmu ke belakang dan taruh tanganmu di belakang leher.” Hardikku sambil menodongkan pistolku kea rah dahinya. Tanpa menghiraukan peringatanku, si penembak berbalik kearahku dan bersiap menembakkan senapannya. Aku tak mau kehilangan nyawaku. Dengan cepat, aku menarik pelatuk pistolku. Tak ayal, si penembak itu langsung roboh tak bernyawa. Tembakanku tepat mengenai dahi, dan menembus langsung mengenai otaknya.

Aku mendengar bunyi sirine polisi dan kegaduhan suara mobil berdatangan di halaman depan. 4 orang berseragam polisi lengkap dengan senjata taktis menghampiriku. Dia menyuruhku membuang pistolku ke arahnya, aku mencoba menjelaskan identitasku, tapi sepertinya dia tidak mau mendengarnya. Tanpa kusadari, dari belakangku, seseorang memegang tanganku dan memasangkan borgol di pergelanganku. Komandan polisi yang tadi menghardikku mengambil senapan si penembak yang kulumpuhkan tadi. Targa yang masih didalam rumah tampak masih kebingungan dengan apa yang terjadi. Tiba-tiba komandan polisi di dekatku itu membidik kepala Targa, ditariknya pelatuk senapan itu dan tak lama kemudian, robohlah kepala reguku itu bersimbah darah. Aku marah, aku memberontak dari dua orang yang membelengguku. Kutendang petugas berseragam yang di sebelah kiriku. Tendanganku mengenai lutut kanan, tampak dia mengerang kesakitan. Sambil menendang, kuserudukkan kepalaku ke dada petugas yang disebelah kananku. Gerakan tiba-tiba itu mengejutkan mereka. Dengan tangan masih terborgol ke belakang, aku bersalto sambil menarik tanganku melewati bawah pantatku. Tanganku sekarang berada di depan. Aku merebahkan badanku ke tanah, mengambil pistol yang tadi ku lempar dan belum sempat mereka ambil. Sayang, komandan polisi itu sigap dan dengan segera menembakkan senapan yang tadi ia gunakan untuk menembak Targa, aku melompat kesamping kiri dan terperosok ke tanah landai di samping rumah. Sampai di bawah, aku segera berlari melewati pagar dan menghilang di kegelapan. Pinggangku terasa nyeri tertembus peluru.

Aku, Ni Luh Nara Tirtakinanti dari Banjar Kerambitan.

Saturday, August 21

-Part 7-

Pengkhianatan

Namaku, Nara Stoijchkoff, anggota aktif Densus 88 antiteroris. Dua peristiwa pemboman yang menewaskan orang-orang yang aku sayangi membuatku mengubah kesedihanku menjadi kekuatan menakutkan. Saatnya menagih dendam


Setelah pamitan dan berjanji pada Mbok Komang bahwa aku akan sering pulang, aku beranjak meninggalkan Banjar Kerambitan, tempat yang memberiku denyut pada kehidupanku. Di sepanjang perjalanan, aku terngiang nasihat Mbok Komang, hanya dialah yang kuberi tahu tentang pekerjaanku sekarang. Dia berpesan untuk selalu ingat tujuan hidup dan kehidupan setelah kujalani hidupku yang sekarang. Jalanan yang kini sudah beraspal itu dulu hanya sebuah jalan kecil berbatu. Aku masih sempat membayangkan perjalanku dulu menuju sekolah yang letaknya cukup jauh dari rumahku. Aku bersepeda bersama-sama teman sebayaku. Di sadel belakangku, aku membawa makanan kecil buatan ibu yang nanti akan kutitipkan di kantin sekolah. Jika makanan kecil itu tidak habis, aku bersama teman-temanku akan berhenti sejenak di bawah Pohon Mahoni yang banyak tumbuh di pinggir jalan itu, dan menghabiskan sisa dagangan ibu. Daripada tidak dimakan dan terbuang, pesan ibuku. Pohon-pohon Mahoni itu sebagian sudah ditebangi untuk melebarkan jalan.


Lamunanku buyar ketika telepon selularku kembali berdering. “Intel kita menginformasikan, akan ada plot pembunuhan kepada Pasopati 1. Dan ada orang dalam yang terlibat. Kami belum dapat informasi yang jelas, tapi orang itu dari dalam istana.” Seru Targa dari speaker telepon. “Bukankah RI 1 sering mengeluhkan itu? Jangan-jangan itu seperti pidato beliau waktu itu. Dan itu ternyata tidak terbukti kan? Buktinya sampai sekarang beliau baik-baik saja, Paspampres itu digaji mahal dan diseleksi ketat bukannya tanpa alasan kan?” sanggahku. Jujur aku sudah cukup bosan mendengar pidato presiden bahwa dirinya sedang diincar oleh teroris. Sebuah kenyataan yang sebenarnya tabu untuk diungkap di muka publik, bukankah sebuah lembaga kepresidenan itu simbol kedaulatan negara? Bagaimana warga negara ini atau negara lain bisa menghormati kedaulatan itu jika presidennya selalu merasa terancam di rumahnya sendiri?


“tapi ini serius Ra’, sumber terpercaya kita mengkonfirmasi beberapa bukti. Aku juga sudah membuat analisa dari bukti-bukti yang kita punya, hasil rekonstruksiku dari dokumen yang kita sita dari penangkapan-penangkapan kita selama ini mengarah pada kemungkinan itu. Pasopati 1 akan ditembak dari jarak lebih dari 2 Km dari tempat dia berdiri.” Targa tetap antusias menerangkan teorinya. “2 Km? Hanya Bob Lee Swagger saja yang bisa mengambil tembakan itu Ga’, dan dia hanya hidup di dunia fiksi a la Hollywood.” Jawabku, tapi dalam benakku muncul sebuah ingatan sekitar 2 tahun yang lalu. Aku pernah menembak dahi Perdana Mentri Malaysia yang kini sudah habis masa jabatannya. Waktu itu aku berhasil mengenai dahi Perdana Mentri congkak itu dari jarak 2,142 Km dengan peluru cat. Dan sampai sekarang aku tidak pernah tertangkap untuk kejadian itu.


Targa menyanggah ucapanku “Cheytac M200 dirancang untuk menembak dari arah lebih dari 3 Km Ra’, aku tetap yakin kalau didunia ini ada orang dengan bakat unik seperti Swagger itu.” “Aku sudah sampai bandara, kita ketemu di Resto Jepang dekat Bandara Ngurah Rai, saluran ini sepertinya sudah di tap. Ada beberapa yang ingin aku bilang ke kamu Ra’…OK?” kata Targa mengakhiri pembicaraannya di telepon. Setelah mengiyakan perkataan Targa, kendaraanku memasuki jalan besar, aku segera memacu mobil dengan kecepatan tinggi, kuhidupkan lampu flash dan sirine pembuka jalan, dan perjalanku di jalur padat itu lancar tanpa menemui kemacetan sedikitpun. Tak lama aku sampai di tempat yang dimaksud Targa. Sebuah resto yang menyediakan masakan-masakan Jepang. Sang pemilik resto, Keisuke Tjokrohamidjojo adalah mantan anggota intelejen militer yang sudah lama tidak lagi aktif, tapi masih mendedikasikan dirinya membantu para agen dari berbagai kesatuan untuk melaksanakan tugas mereka. Ayahnya seorang anggota pasukan bela diri Jepang yang dalam penyamarannya menikah dengan Sitoresmi Tjokrohamidjojo, seorang putri bangsawan dari Solo. Salah satu dari bantuan itu adalah menyediakan sebuah ruang yang tidak bisa ditembus oleh gelombang apapun. Dia menyebutnya ruang hening. Ruang ini terletak sekitar 10 meter dibawah resto yang dikelolanya. Gelombang mikro dengan resonansi paling besarpun tidak akan bisa menembus kedalaman ruang ini.


Targa meletakan 2 pistol yang dari tadi dia sandang di pinggangnya agar dia bisa duduk dengan nyaman. Aku membuka tablet HP slate yang dipinjamkan Pak Keisuke. Dari Flashdrive-ku aku membuka beberapa dokumen rahasia hasil sitaan Densus 88 dari berbagai penangkapan. Ada beberapa yang memang mengarah pada plot pembunuhan Pasopati1, sandi kami untuk RI 1 alias Presiden Republik Indonesia. Tapi semua itu terputus pada penangkapan dan penumpasan yang kami lakukan. Tidak banyak bukti yang bisa mendukung teori pembunuhan ini. Kami belum menemukan motif yang kuat yang bisa mendasari seseorang dari daftar hitam kami untuk melakukan perbuatan yang mungkin akan menyebabkan revolusi besar-besaran di negeri ini. Aku mencoba merekonstruksi bukti dan kejadian yang aku alami selama 1 bulan ini. Mulai dari Ahmed Hassan yang bebas berkeliaran di negara ini, hingga percobaan pembebasan seorang gembong teroris dengan operasi yang tidak bisa dibilang kecil. Biasanya aku dengan mudah bisa mengendus rencana busuk para teroris itu sebelum mereka melakukan aksinya, tapi entahlah, mungkin nostalgiaku kemarin sedikit mengaburkan firasatku.


Dari atas, Pak Keisuke memanggil Targa, telepon seluler yang dia tinggal di ruang atas berkali-kali bordering. Hanya beberapa saat saja, Targa kembali ke ruang tempat kami berdiskusi, teman-teman di Jakarta berhasil menggerebek sebuah rumah pemondokan dan menangkap beberapa tersangka teroris. Mereka menemukan beribu-ribu amunisi dan puluhan amunisi kaliber 8.5 lapua magnum yang biasa digunakan untuk menembak dari jarak jauh. Diduga beberapa tersangka teroris berhasil meloloskan diri. Dari telepon selularnya itu, Targa memaki-maki anak buahnya, mereka dianggap tidak matang dalam merencanakan sebuah penggerebekan. Dari berbagai operasi, baru kali ini tersangka berhasil lolos dengan mudah.


Aku kembali berdiskusi dengan Targa. “Sepertinya info pesta bocor ke mereka Ga’, kamu tahu teman-teman kita bukan polisi kacangan kemarin sore yang bisa dengan mudah dikadali.” Aku sedikit membela teman-teman yang ada di Jakarta. “Kamu mau bilang kalau di unit kita ada penghianat?” Tebak Targa. “Kita tidak bisa menutup mata. Hampir setiap agensi pernah mengalami hal itu Nak Targa.” Tukas Pak Keisuke yang tiba-tiba masuk membawakan kami dua gelas dan satu poci sake. Targa dengan ketus menjawab “Tapi tidak di Densus 88 Keisuke San.” Tapi dengan sengit Pak Keisuke cepat-cepat menjawab “Justru terkhusus Densus 88.” Diapun mulai bercerita sambil menuang sake dalam poci kedalam gelas. “Dulu, sebelum ada Densus 88, pengamanan teroris di negara ini dibebankan kepada tentara. Aku bergabung dalam sebuah detasemen dibawah marinir AL, Detasemen Jala Mangkara, salahseorang temanku berkhianat dan menjual informasi kepada negara tetangga kita. Dan akibatnya, kita kehilangan pulau Sipadan. Setelah itu, Denjaka dibekukan, dan disinilah aku…hehehehe.” Sambil menyerahkan sake kepada kami dia melanjutkan “Ingat Nara, Targa… ketika kalian bermain-main dengan informasi rahasia, kalian meletakkan kaki kaki kalian pada sebuah paradox, pada hal-hal yang saling bertolak belakang.”


Betul apa yang dikatakan Pak Keisuke. Sebuah kebanggaan bisa mengaburkan penilaian kita. Memang sejak berdiri, hampir bisa dibilang Densus 88 adalah sebuah detasemen dengan kinerja paling sempurna. Aku memang tidak mengawal detasemen ini sejak awal. Tapi aku bisa merasakan dedikasi dan pengabdian para agen-agen Densus 88. Aku ingat kejadian saat percobaan pembebasan Paijan 1 beberapa waktu yang lalu. Sebenarnya banyak kejanggalan yang aku tangkap dari kejadian waktu itu. Meski sudah 2 tahun lebih aku bekerja dalam resimen ini, aku belum terlalu bisa berbagi informasi dengan teman-teman yang lain dalam timku. Sebelum bergabung dengan detasemen elit ini , aku banyak bekerja sendirian.

Pak Keisuke kembali ke restonya, sambil menekan tombol lift, dia mengingatkan bahwa satu jam lagi, makan malam siap. Aku kembali pada data laporan tertulis dari operasi pengiriman Paijan beberapa waktu yang lalu,yang baru saja terkirim ke tablet HP slide ini. Aku mulai meneliti lagi data-data dan foto-foto yang dikirim dari Densus 88 unit Jakarta, termasuk skema terowongan air yang aku gunakan untuk menghindari tembakan Ahmed Hassan. Dari skema itu, aku bisa melihat bahwa ternyata banyak sekali ujung terowongan di sekitar tempat tertembaknya Manggor. Aku mulai bertanya-tanya, darimana Ahmed Hassan mengetahui terowongan yang aku lewati dan menunggu kami disana. Lalu kejadian penyerangan di selasar diantara dua gedung tua. Termasuk misil darat yang menghantam mobil kami. Dari foto forensik, ada sebuah fragmen misil yang menarik perhatianku. Sebuah lokator digital yang tidak ikut meledak dengan misil darat itu. Melihat jarak mobil kami dengan penembak misil yang lebih dari 500 meter, mustahil misil itu hanya dibantu dengan heat seeker biasa. Seseorang pasti menempelkan chip pemandu di mobil pengangkut tahanan itu agar misil dapat menghantam tepat pada mobil itu. Lokator digital itu hanya sebesar ujung kelingking orang dewasa, dan aku yakin, forensik pasti melewatkan satu bagian kecil ini.


Aku masih belum membagi temuanku dengan Targa. Teoriku masih terlalu mentah, orang itu sangat bangga dengan kesatuan yang dipimpinnya, dan kadang hal itu mempengaruhi kredibilitasnya dalam menyidik sebuah kasus. Aku tidak mau kasus ini hilang begitu saja hanya karena keteledoran satu orang. Aku baru menyimpulkan bahwa jika memang ada pengkhianat, pasti dari Densus 88 sendiri. Memang operasi waktu itu merupakan sebuah operasi gabungan dari berbagai agensi intelejen di negara ini, tapi eksekutor di lapangan diserahkan penuh pada Densus 88, termasuk dalam memilih mobil yang kami gunakan untuk mengangkut para Paijan. Aku menduga bahwa Targa mungkin terlibat dalam plot pembunuhan RI 1 ini. Dan kemungkinan dia mengajakku agar dia punya seseorang untuk disalahkan.

Targa sempat mengetahui bahwa aku mempunyai dokumen-dokumen dan bukti-bukti kuat tentang kecurangan sang RI 1 dan partai yang dia pimpin dulu ketika masa pemilihan umum. Bukti-bukti sebenarnya akan diolah oleh seorang pimpinan sebuah lembaga pemberantasan korupsi di negara ini, namun apa daya, sang pimpinan berhasil dijebak dan terjungkal ke penjara. Dan jika bukti ini sampai muncul ke permukaan, revolusi besar-besaran bisa terjadi di republic ini, dan aku terlalu mencintai negara ini untuk membiarkan itu terjadi. Dan motif ini bisa mengantarku ke penjara, belum lagi jika Targa berhasil memainkan skenarionya, aku mungkin akan langsung di eksekusi agar tidak bersaksi di pengadilan. Entahlah, teori ini masih sangat mentah dan butuh banyak hal untuk aku kembangkan. Sementara aku tidak lagi mempunyai teman yang aku percaya.


Kami keluar dari ruangan hening itu. Waktunya makan. Banyak yang kami obrolkan dengan Pak Keisuke, orang tua itu ternyata mengabdikan lebih dari separuh hidupnya untuk mengamankan negara ini dari musuh-musuh yang ingin menggerogoti kedaulatan negara ini. Sayup-sayup terdengar di siaran berita yang kami tonton sambil makan, berita tentang Menteri Luar Negeri yang menyetujui penukaran pencuri ikan dari negara tetangga dengan aparat negara yang ditangkap oleh polisi diraja negeri tetangga. Pak Keisuke langsung berkomentar panjang lebar tentang berita itu. Tak lama kemudian, di sebuah talk show, juga di stasiun televisi berita itu, membahas tentang pernyataan Menteri Luar Negeri itu. Mereka menghadirkan Jonas Herbert Tuhuteru, seorang tokoh nasional yang begitu perduli dengan wilayah kelautan negara ini. Pak Keisuke sempat bercerita bahwa dia sempat bekerja sama dengan J.H. Tuhuteru dalam sebuah riset tentang batas wilayah kelautan negara-negara di asia tenggara. Besok, J.H. Tuhuteru juga akan menyampaikan sebuah makalah di depan para peserta konferensi.


Belum sempat kami menyelesaikan makan malam kami, alat komunikasi kami berbunyi. Panggilan darurat dari Densus 88 unit Denpasar. Mereka melaporkan bahwa terjadi pembunuhan seorang anggota Brimob di sebuah bank di kawasan Legian. Menurut saksi mata, anggota brimob tersebut tertembak di bagian dada. Kami segera meluncur ke lokasi

Aku, Ni Luh Nara Tirtakinanti dari Banjar Kerambitan.

Wednesday, August 11

pulang

Ijin cuti dari Mabes baru saja keluar. Setelah rentetan kejadian dan tugas kemarin, Targa merekomendasikan aku untuk diberi ijin cuti selama 1 bulan. Luka di kaki kiriku memang belum pulih betul. Rasa ngilu masih kurasakan karena peluru yang kemarin mengenai kakiku menembus sampai tulang, tapi aku beruntung, peluru itu tidak sampai mematahkan tulang keringku. Dokter bilang dalam 2 minggu ngilu itu akan hilang dengan sendirinya.

Aku keluar dari markas paling modern yang dipunyai kepolisian negara itu dengan air muka datar. Selama hampir 8 tahun hidupku, aku tidak mempunyai kesibukan lain selain menembak dan mengendus teroris. Entah berapa dahi teroris yang sudah kulubangi, entah berapa peluru yang sudah kutembakkan. Aku tidak pernah lagi menghitung. Aku menyukainya, dan aku ahli dalam melakukannya. Sekarang aku diperintahkan untuk cuti. Sebenarnya aku malah tidak tahu apa yang akan aku kerjakan.

--

Setelah melapor di markas Densus 88 di Denpasar, aku menuju ke tempat kelahiranku. Dari Markas Denpasar, aku dipinjami sebuah mobil untuk sarana transportasiku. Nissan Terrano Grand road keluaran tahun 2002 dengan GPS dan kaca anti peluru. Ah..mereka tidak merelakanku pergi jauh. GPS ini tentu untuk melacak kemana saja aku pergi. Di bawah dashboard ada senjata standard Densus 88, senapan karabin M203, lengkap dengan 2 magazen cadangan di dalam dashboard. Lumayan untuk sebuah pasukan elite kepolisian di negara berkembang seperti negara ini.


Aku mulai memasuki daerah kelahiranku. Rambu-rambu penunjuk arah yang baru saja kulewati menunjukan daerah Tabanan masih 27 km lagi. Di samping kiriku, menghampar sawah yang menguning siap panen. Tak jauh dari sisi kananku, tampak pohon kelapa melambai lambai di sisi pantai, dengan air laut yang biru kontras dengan pantai pasir putih. Pemandangan khas pedesaan pinggir pantai Bali yang sudah 10 tahun lebih tidak kulihat lagi.


Dulu, hampir setiap akhir pekan, aku menghabiskan waktuku di pantai yang tak jauh dari rumahku. Menatap mentari yang hilang di Selat Bali, lalu melihat kerlap kerlip Pulau Jawa dari kejauhan. Aku akan sampai di rumah tepat ketika ibu selesai menyiapkan makan malam. Plecing kangkung yang renyah, Ayam mesisit yang menggoda selera, dan lawar bali yang terkenal itu. Ibuku bisa memasak semua itu dengan sempurna, pas sekali di lidahku. Dan setelah malam selesai, kami berkumpul di halaman depan di samping pura. Dan ayah biasanya menceritakan kisah-kisah khas Bali, seperti Hikayat Jayaprana dan Layonsari, Satua I pucung, atau kekidungan lagu-lagu Bali. Hampir semua kidung Bali aku hapal. Dari dapur, biasanya sayup sayup terdengar ibu menggumamkan Kidung Pangredana

Pangredana ne keluwur
Maka pengundang Dewane
Asep menyan majegahu
Ambunnyane merik sumirik
Cenana pada mesanding
Pemendak Ida Bhetara
Anggenne diluwur
Ngaran Tiga Sakti

Terngiang lagi Kidung-kidung Bali yang biasa di nyanyikan ibu sambil membereskan rumah. Suaranya yang merdu, sangat fasih melafalkan kata-kata dalam Bahasa Bali. Hampir semua ibu-ibu di Banjar Kerambitan pandai berkidung. Kata-kata yang menenteramkan hati. Syair-syair ajaib yang mampu mendinginkan kepala setelah lelah belajar di sekolah.

Tak terasa, mobil yang aku kendarai mulai memasuki wilayah Banjar Kerambitan. Jalan yang dahulu masih berbatu, sekarang sudah ter aspal halus. Jalan ini yang dulu kulewati sehari-hari menuju sekolah di ujung banjar. Terakhir aku melewati jalan ini, 10 tahun yang lalu, ketika keluarga Stoijhkoff menjemputku dari rumah Pak Bendesa (kepala desa dalam Adat Bali). Keluarga ayah dan ibuku tidak berasal dari banjar ini. Mereka pindah dan entah aku tidak ingat lagi mereka berada dimana.


Tidak banyak yang berubah dari Banjar Kerambitan ini. Jalan-jalan masih sama, hanya beberapa bangunan saja sudah tampak berdiri di lahan-lahan yang dahulu kosong. Aku menghentikan mobil hitam ini di sebuah rumah tua. Pura di depan rumah tampak rapi dan masih tertata baik, tanda bahwa pura itu masih sering dipakai warga. Tapi rumah kayu di belakang pura tampak tua dan kurang terawat. Itulah rumahku. Tempat aku lahir dan menjalani masa remajaku. Halaman rumah yang menjadi satu dengan halaman pura tampak bersih tersapu. Dengan langkah berat, aku turun dan mendekati rumah itu. Hatiku tercekat. Ingatanku seperti kembali ke 10 tahun yang lalu. Aku melihat ayahku yang sedang memandikan ayam, adikku yang sibuk menyerut bambu untuk layang-layang. Beberapa itik berlarian bersama induknya mencari cacing di samping rumah.


Sayup- sayup kudengar kidung purwa kaning dari kejauhan. Kidung yang biasa dinyanyikan ibu sambil memisahkan beras dari sekam.



Purwa kaning angrip tarum
Ningwana ukir kehadang labuh
Kartika panedengin sari
Angayon tangguli ketur
Angringring jangge mure

Sukanya arja winangun
Winarna sari sampuning riris
Sumahur ingoling tangi
Rumrumning puspa priyaka
Munggwing srenganing rejeng

"Maaf bu, mencari siapa ya?" Lamunanku buyar ketika suara lembut itu terdengar dari belakang tubuhku. Aku membalikkan badanku, dan tampaklah seorang ibu setengah baya sedang menunggu jawabanku. Aku tidak menjawab, hanya sebuah nama terucap dari bibirku "Mbok Komang" Sang pemilik nama, ibu setengah baya itu heran, bagaimana aku bisa mengetahui namanya. Aku membuka kacamata hitam yang membungkus mataku. Dan ketika melihat keseluruhan wajahku, serta merta dia memelukku, dan pecahlah tangisnya. "Ni Luh...Ni Luh...." Aku masih berusaha tenang dan menanyakan kabarnya dengan Bahasa Bali yang sudah mulai kulupakan, "Punapi Gatra, Mbok Komang?" Mbok Komang adalah wanita yang mengasuhku dulu. Bukan pembantu kami, tetapi dia sering datang dan membantu pekerjaan rumah ibuku.


Mbok Komang kemudian pulang mengambilkan kunci rumahku. Selepas aku pergi, Mbok Komanglah yang membersihkan rumahku. Tidak ada yang menghuni rumah ini. Dan Mbok Komang dengan suka rela merawat rumah ini, jika nanti aku pulang, masih ada rumah yang aku tuju. Tak lama kemudian, Mbok Komang datang dengan kunci di tangannya. "Aku pulang dulu Ni Luh, masih ada pekerjaan, nanti malam kalau kamu butuh teman,pergilah ke rumahku. Suamiku masuk pagi, anak-anakku sekolah di luar kota"kata Mbok Komang sambil mengalirkan air di kamar mandi. "Baik Mbok, terima kasih"


Hari mulai gelap ketika aku bangkit dari dudukku di sudut ruangan. Cukup lama aku membiarkan pikiranku bernostalgia, pulang kembali ke rumahku yang sebenarnya. Rumah damai yang pernah membantuku tumbuh menggeluti pikiran dan kesadaranku. Mbok Komang betul-betul pandai merawat rumah ini. Tak ada satu perabotpun yang berpindah tempat. Dari ruang tamu di depan sampai dapur, semua penataannya masih sama. Hanya beberapa perabot masak di berikan kepada tetangga, atau dipakai sendiri oleh Mbok Komang. Aku memakluminya. Mbok Komang mengirimi aku makan malam. Menunya hampir sama dengan apa yang dulu dimasak oleh ibuku. Makanan khas pedesaan Bali yang tak pernah lagi kujumpai sepanjang pengembaraanku. Setelah makan, aku tertidur pulas. Perjalanan dari Denpasar ke Krambitan ini ternyata cukup membuatku lelah.


--

Aku terbangun ketika sayup-sayup kudengar orang membacakan mantra di pura depan rumah. Kata Mbok Komang, banyak warga banjar yang berdoa di pura itu. Selain ukurannya yang cukup luas, letak rumahku yang berada persis di tengah desa membuat pura itu mudah dijangkau oleh warga. Bau kemenyan dan kembang sesaji yang dibawa para pendoa itu menusuk hidung dan membangunkanku. Persis ketika kanak-kanakku dulu, aku terbangun karena sesaji yang dibawa ibu. Biasanya setelah itu dia akan membangunkan kami untuk berdoa pagi bersama-sama di pura. Di suatu pagi, ibu membuat sesaji khusus dan melingkarkan sebuah gelang benang di lenganku sambil mengucap doa "Ne cening magelang benang, apang ma uwat kawat ma balung besi" hari ulang tahunku, menurut penanggalan Bali.

Dari jendela aku melihat beberapa orang berdoa di pura, beberapa gadis seusiaku, dan seorang pedanda, bersama-sama mereka membaca syair doa dari kitab Bhagawadgita. Syair-syair yang sudah lama berkarat di otakku. Dulu, sebelum tidur, ayah atau ibu selalu membacakan satu syair untuk kuingat dan kurenungkan sembari tidur. Kami memang bukan dari keluarga brahmana, tetapi Ayah dan Ibuku mendidikku dengan ajaran-ajaran Hindu. Dulu bahkan aku hapal semua hari pantangan. Hari apa aku tidak boleh menebang pohon, atau hari apa aku tidak boleh membunuh hewan. Semua sudah terkubur di dasar otakku. Aku sudah berubah menjadi malaikat pencabut nyawa yang paling menakutkan bagi musuh-musuhku. Tanganku bergelimang darah dari para manusia yang mengaku dikirim Tuhan untuk menghukum orang-orang kafir. Tuhan yang mana?


Di hari ke tiga kepulanganku. Aku ikut berdoa di pura, tetangga kiri dan kananku mulai mengenalku kembali. Dan mereka tidak pernah berubah. Keramahan Banjar Kerambitan tak pernah lekang oleh waktu. Beberapa diantara mereka sudah bercucu. Remaja-remaja yang dulu menjadi sebayaku kebanyakan sudah berkeluarga. Mereka tidak pernah menanyakan pekerjaanku, dimana aku tinggal, atau hal-hal yang aku rahasiakan lainnya. Mbok Komang memberitahuku bahwa beberapa hari yang lalu, baru saja ada upacara ngaben untuk ayah dan ibuku. Aku terdiam. Di tepi halaman itu, airmataku untuk pertama kalinya meleleh. Aku menangis tanpa terisak. Mbok Komang memelukku dari belakang sambil membisikkan nasihat-nasihatnya. Dia kemudian membimbingku masuk ke pura.


Seperti Narada memuji Bathara Wisnu dan Kresna, aku berdoa di pura itu. Entah bahasa apa yang kupakai, kenangan indah di rumahku ini tidak membuatku gontai. Aku justru ingin seribu kali lebih kuat untuk memerangi musuh-musuhku. Aku ingin memasuki Padang Kurusetra-ku lebih dalam.


"trrrriiiit...triiiiiiiit..trrrrrrrrrrriiiiiiiiiiiitt" Telepon selularku berbunyi, tepat ketika aku keluar dari pura. Suara Targa terdengar di speaker telepon "Cuti kamu batal Ra', segera melapor ke Markas Denpasar, Ahmed Hasan lolos dari parameter..."






Monday, July 5

-part 6-

One Shoot, One Kill


Aku , Nara Stoijchkoff, agen Densus 88 yang ditugaskan di Jakarta, keluarga asliku tewas terbunuh di bom bali 2002. Aku di adopsi oleh sebuah keluarga dari Amerika Serikat. Sejak aku memutuskan untuk mengikuti program anti-teroris ini. Aku tahu, hidupku tak akan pernah sama lagi.


SUV yang kutumpangi bersama 3 rekanku dan 1 orang paijan ini melaju cepat di jalanan ibukota, 2 layar 10 inch tertempel di dashboard, layar di sebelah kiri yang paling dekat dengan kemudi menunjukan peta rute jalan yang akan dan sudah kami lalui. Titik merah bergerak dan berkedip-kedip itu menunjukan lokasi mobil kami, dan layar yang lebih kecil disampingnya, menunjukkan data-data perimeter dan gambar visual dari sekitar SUV kami yang di upload dari markas. Ini bukan sembarang SUV, Body mobil terbuat dari Adamantium Alloy, baja stainless yang ringan tapi mampu menahan peluru. Kaca anti-peluru yang hanya bisa dihancurkan dengan getaran di frekwensi yang dirahasiakan. Dan GPS supecanggih yang bahkan bisa memberitahu ketika penumpangnya tidak mengenakan sabuk pengaman. Di permukaan badan mobil, dipasang elemen yang bisa mendeteksi benda panas yang mendekat ke arah mobil. Misil atau roket misalnya.


Dari Speaker radio, Meta, dispathcer kami tak henti-hentinya memberikan arah dan belokan selanjutnya yang musti kami tempuh. Rute perjalanan dari Cipinang menuju Mabes terasa sangat jauh. Belum lagi jika tiba-tiba komandan memerintahkan kami untuk memutar melewati jalan dengan resiko di sergap lebih kecil. Dengan tenang dan waspada, Leo mengemudi sambil mendengarkan instruksi dari Meta, di belakang Willy dan Ganang mengapit paijan, Willy tak pernah melepaskan genggamannya dari HK P30 yang ia sarungkan di pinggangnya tanpa kunci pengaman. Sementara Ganang terlihat lebih tenang memangku HK MP5-nya, senapan laras pendek itu memudahkannya untuk tetap memegang senapan itu dalam posisi duduk. Tampak darah menetes dari mulut paijan, pasti luka di mulut akibat kusodok dengan popor HK 416-ku.


Aku tetap berkomunikasi dengan teman-teman di SUV belakangku. Mereka membawa Paijan 2. Purno Widodo, seorang desertir paskhas yang terbukti mencuri peluru dari kesatuannya untuk kemudia dipasok pada para teroris di Aceh. Entah karena memang takdir, atau hanya kebetulan belaka, Paijan yang kukawal ini begitu dekat dengan kehidupanku. Begitu dekat hingga aku masih ingat seringainya ketika dia berdiri di samping mobilku di parkiran dekat Paddy's Cafe, 10 tahun yang lalu. Dia membawa sejumlah telepon selular di bajunya. Jika waktu itu aku sudah menjadi agen seperti sekarang, aku tentu akan berpikir untuk memeriksanya. Tapi apalah daya seorang remaja yang baru saja mengenal pengharum ketiak. Kenapa bukan Paijan 2 saja yang kukawal. Rasanya, ingin sekali kubelokkan stir mobil yang dipegang Leo, menepikannya di tempat yang sepi, lalu menyeret Paijan yang kukawal ini ke pinggir jalan. Kuperintahkan dia untuk bersujud dihadapanku. Dan dengan penuh kelegaan, aku melubangi jidatnya dengan senapan otomatisku ini. Lalu aku membuat laporan bahwa Paijan mengadakan perlawanan dan terpaksa dilumpuhkan.


Lamunanku buyar ketika tiba-tiba jantungku berdebar keras, kepalaku seperti ditusuk jarum berkali-kali, rasanya sama seperti ketika kemarin aku dan reguku di sergap di hotel laknat itu. Sama seperti ketika aku mendorong Rengga dulu ketika kamar kost-nya meledak. Seperti firasat bahwa sebentar lagi akan ada serangan. "................ciiiieeeeeeeessssssssh" Tiba-tiba aku melihat sebuah cahaya berwarna kuning kebiruan melaju cepat ke arah SUV kami. "...........Buuummm." Misil Darat, "Alfa 1 kepada Dispatch, kami dalam kode merah...Ulangi kami dalam kode merah" Aku melapor ke markas sambil melihat SUV teman kami di belakang tergelimpang. Misil yang tadi kulihat menghantam tepat di samping kendaraan itu. Walaupun tidak meledak. Gaya sentrifugal misil tadi sukses menggulingkan SUV dibelakang kami itu. Saat itu juga, 2 Motor pengawal kami langsung berhenti dan membuat barikade di belakang mobil yang terguling

"Leo, Mundurkan mobil sampai di dekat Tim Alfa2 Willy ikut aku! Ganang, kamu tetap di mobil!" Perintahku cepat kepada rekan-rekanku. Sampai di dekat mobil yang terhantam misil tadi, aku mengajukan permintaan untuk melepaskan tembakan balasan. Sementara permintaan tersebut di proses, aku meminta Willy untuk menyiapkan Senapan Cheytac M200. "Tapi Ra'..kita belum dapat ijin untuk menembak." Protesnya. "Aku tidak menyuruhmu menembak, aku hanya menyuruhmu menyiapkan M200 itu!" Tukasku sambil berusaha membuka pintu belakang mobil alfa2. Budi dan Manggor, rekan-rekanku yang didalam mobil terguling itu keluar dari mobil satu per satu. Felik, keluar paling akhir sambil membopong Paijan 2 yang pingsan. "Bentuk perimeter di sekitar 2 SUV ini. Kita mobile dengan 1 kendaraan saja. Cepat!!" Budi dan Manggor yang lebih dulu keluar dari mobil segera membantu Felik untuk memasukkan Paijan 2 yang pingsan kedalam mobil yang aku tumpangi.


"Ra', Paijan 1 kabur, Ganang tertembak di leher" lapor Manggor. "Anj**ng" aku memaki, kami terlalu berkonsentrasi menolong teman-teman kami di belakang, dan kami lengah menjaga Paijan1. Melalui radio aku mendapat lampu hijau untuk menembak, sekaligus aku melaporkan hilangnya Paijan 1 dan tertembaknya Ganang."OK..Kita bagi tugas! Manggor, Felik, ikut aku mengejar Paijan 1. Willy, Leo kalian antar Paijan 2 sampai di Helipad terdekat, bawa 2 Polisi itu untuk mengawal kalian, aku akan meminta air support dari Brimob." Mereka mengangguk setelah kuberi pengarahan. Mobil yang tadinya kutumpangi mulai meninggalkan tempat kejadian membawa 1 Paijan dan 2 rekanku dengan dikawal oleh 2 petugas pembuka jalan itu.


"Ayo Ra', kita bergerak!" Pinta Manggor. "Ya bentar, ada 1 hal yang musti kuselesaikan disini" Jawabku sambil mengambil M200 Cheytac yang tadi dirangkai Willy. Aku naik ke sisi samping SUV yang rubuh tadi yang sekarang menjadi sisi atas. Aku mengambil posisi tiarap di belakang senapan. Dengan cepat, kubidik sebuah sasaran melalui night scope yang tertempel di senapan jitu itu."Tetap waspada Manggor, Felik.. Paijan 1 tidak akan bisa lari cepat. Aku memukul perutnya dengan senapan waktu dia ngoceh di mobil tadi."Kataku sambil terus konsentrasi pada sebuah kepala di sebuah atap gedung bertingkat. "Dasar Gila!" Felik menukas cepat. Kepala itu masih tidak beranjak dari sana setelah menembakkan misil yang menggulingkan mobil kami tadi. Aku melempar sebuah Meteorological and environmental sensor, Kestrel 4500 kepada Manggor dan sebuah Vector Range Finder. "Manggor, kau lihat kepala diatas gedung itu, dia yang menembakkan misil dan menggulingkan mobilmu, cari jarak, kecepatan angin,dan kelembaban perimeter ini!" Tak berapa lama, Manggor menyebutkan beberapa angka kepadaku. Aku bergumam dalam hati" Kau pikir kau tak terlihat hah. Selamat Jalan Bangsat..Sampai Jumpa di neraka." "Dhuooor" Suara tembakanku menggema memenuhi jalanan sepi itu. Dari Lensa teleskop senapan yang kutembakkan tadi, kulihat sebuah kepala memuntahkan darah, dan kemudian roboh seketika. Aku sempat melihat matanya yang terkejut, dan tangannya yang tergopoh gopoh kaget mengarahkan peluncur misilnya ke arahku. Tapi peluru .408 Chey Tac yang kutembakkan itu melesat lebih cepat ke arahnya.

Dari sisi jalan, Felik melambaikan tangannya. Memintaku untuk segera mendekat. Manggor lebih dulu menghampirinya. "Darah Ra'..sepertinya ini darah Paijan 1, itu jika pukulanmu tadi cukup membuatnya mutah." Lapor Felik. "Aku yakin itu" Jawabku. Aku memukul Paijan 1 tadi dalam posisi duduk, ketika dia merubah posisi secara tiba-tiba, darah yang menggumpal di luka pukulan akan naik dan keluar melalui mulut atau hidung. Pukulan itu juga akan membuatnya mual dan tidak bisa berlari cepat. Manggor menemukan lagi tetesan darah di sebuah selasar sempit diantara 2 gedung besar. Kami segera memasuki selasar itu. Aku membawa senapan jitu besar itu dalam posisi siap menembak. Kumanfaatkan night scope yang tertempel di atas senapan itu untuk melihat jauh kedepan kami.

Dari night scope, aku melihat segerombolan orang berkumpul di ujung gang. Jika melihat tampilannya, mereka bukan orang baik-baik. Aku memerintahkan rekan-rekanku untuk waspada. Felik yang membawa senapan serbu semi otomatis MP 5, membuka kunci pengaman senjatanya, dia masih berusaha menyembunyikan senapan pendek itu diantara badan dan lengan kanannya. shot gun 112 Kurz 6 mm yang dibawa Manggor masih tertenteng rapi di belakang punggungnya. Tapi tangannya sudah siap memegangi pistol Walther P99nya, moncong pistol hitam itu masih menghadap ke tanah tapi penguncinya sudah terbuka. Aku melepas night scope di senapan jitu yang tadi kubawa, kusandang senapan itu bersama HK 416 yang dari tadi belum lepas dari bahuku. Setelah berjalan cukup jauh, lenganku gemetar menahan senapan berbobot tak kurang dari 8 kilo itu.


"ceklek..tiiiit" "..tit..tit..tit.." Ranjau. Felik berdiri gemetar tanpa bergerak ditempatnya. "Diam disitu lik, jangan banyak gerak!" Manggor berjongkok di kaki Felik sambil meneliti ranjau yang diinjak Felik. "VS 50, kelihatannya baru saja dipasang" Ujar Manggor menganalisa temuannya. "Beri aku waktu 5 menit" Manggor mulai mengutak atik ranjau itu. Diambilnya Feldmesser di kakiku untuk memotong membuka ranjau itu. Aku mendengar langkah langkah kaki. Gerombolan orang-orang yang tadi berada di ujung gang mulai mendekat. Aku berlindung dibalik kotak sampah yang terbuat dari batu bata, tak jauh dari posisi Manggor dan Felik. "Cepatlah Tumanggor!!, orang-orang itu mendekat sepertinya bukan untuk bermain basket denganmu." Aku mulai menyiagakan Cheytac M200 itu. Dari radio panggil, aku meminta ijin untuk menembak. Ini operasi gabungan resmi, kami tidak bisa sembarangan menembak, bahkan kami harus membuat laporan untuk setiap peluru yang kami tembakkan. Jam berapa kami menembak, dan berapa jumlah peluru yang kami lepas. Tidak seperti operasi penyamaran seperti biasa yang membolehkan kami untuk menembak seenak hati, meski harus membuat laporan, tapi keputusan untuk menembak masih ada di tangan kami masing-masing.


Dari night scope yang kembali kupasang di punggung senapan, aku melihat sesuatu yang berkilap di tangan orang-orang yang memegang kami. "Wow...mereka bawa Dessert Eagle, Manggor" "Tembak saja mereka" Jawab Manggor sambil mengutak-atik ranjau buatan Singapura itu. "...Dhas..dhas...dhas" "drrrrrrrrrrt...drrrrrrttt...." Tiba-tiba, suara tembakan begitu saja menggelegar. Bersamaan dengan Tumanggor yang berhasil menjinakkan ranjau darat itu. Dia menarik Felik ke belakangku. Aku mulai menembakkan senapan yang kubawa itu. Manggor berlari sambil menunduk ke seberang gang.Felik mulai menembakkan MP5nya kearah gerombolan tak dikenal itu. Sambil menembak, Felik terus meracau "Gila,tiap kali aku tugas sama kamu, pasti dapet kontak senjata Ra'. Kamu seperti magnet peluru" "Biasa...selebritis teroris" Jawabku sambil terus menembakkan peluru .408 Chey Tac dari senapan jitu. Aku berusaha membuat semua peluru di magazen ini berguna. Tak ada satupun tembakanku yang meleset. Pelatihanku di Marine Corps Base Quantico dulu betul-betul berguna. "Dhuoorrrr..." kutembakkan peluru terakhirku dari magazen M200 ini.


Manggor berteriak kepadaku sambil menembakkan Walther P99nya "Nara, Kalau kita terlalu lama disini, Paijan 1 bisa lepas" "Berikan PDA-mu!!" "Ketika aku memukulkan Popor senapanku tadi, aku menempelkan tracker di perutnya." Manggor melempar PDAnya kearahku. "Dasar, aku bisa melaporkanmu untuk perbuatan indisipliner dan melangkahi prosedur dengan menempel tracker sembarangan." "Lapor saja Manggor, kulaporkan kamu ke istrimu kalau kamu suka mengunduh video cabul." Jawabku "ah Sialan" Sinyal dari tracker yang kuletakan di badan paijan 1 mulai terlihat. Itu berarti, mengingat tracker itu hanya bertenaga kecil, Paijan 1 hanya berjarak kurang dari 60 meter dari kami.

Tembakan demi tembakan masih terus menghujani tempat kami berkumpul. Manggor terlihat membalas semua tembakan itu dengan pistol hitam itu. Dia sudah menggunakan magazen terakhirnya. Pelurunya habis untuk menghalau gerombolan itu mendekati kami. Mereka tak lebih dari orang buta yang memegang senjata. Hanya 1 peluru menyerempet lengan Manggor. Aku tertembak di dada kiri. Tapi kevlar ini membuatku tetap hidup. Jumlah gerombolan itu seperti tidak ada habisnya. Aku menggunakan HK 416ku untuk membalas tembakan mereka. Jarak kami dengan Paijan 1 hanya sekitar 2 gedung saja. Kami butuh melewati gerombolan penyerang itu untuk bisa menemukan Paijan. Aku mencoba menemukan jalan memutar agar bisa melewati baku tembak yang membosankan ini. Aku berlari memutari gedung tua di sampingku. Sayang, ternyata dibalik gedung ini, gerombolan lain sudah menghadangku. Mereka serta merta menembakiku dengan senjata laras panjang dan beberapa pistol. Kami terkepung, dari PDA Manggor, aku bisa melihat bahwa paijan mulai bergerak menjauhi kami.

Aku kembali ke tempat Manggor dan Felik berlindung, Felik menunjukkan aku sebuah tangga menuju atap gedung. Kuberikan M200 CheyTac yang tadi kubawa pada Felik, kami mulai membuat parameter disekitar tangga, agar Felik bisa memanjat ke atap gedung. Tak lama, Felik sampai di atap gedung. Dia mulai menembakkan M200 itu untuk melindungi kami. Saatnya mengamuk. Aku memberikan HK 416ku pada Manggor, kuminta dia untuk tetap dibelakangku, dan kami mulai merangsek maju. Aku mulai beraksi dengan kedua pistolku, kupastikan 1 peluru yang terlepas dari pisto-pistol ini tepat mengenai sasarannya. Manggor berlari sambil menghadap ke belakang, berjaga jaga kalau saja ada serangan dari belakang. Tanganku pegal, jari-jari manisku seperti tidak lagi sanggup menarik pelatuk pistol-pistolku ini. Kami kepayahan. Aku bersembunyi di balik sebuah tong sampah, di atasku ada sebuah trafo listrik besar. Manggor masih menembaki gerombolah di depan kami dengan senapanku tadi. Aku memperingatkannya untuk menghemat pelurunya. Dari radio panggil di pundakku, aku mendengar laporan bahwa tim pemukul bantuan yang dikomandoi Targa tidak lama lagi akan datang. Blokir yang tadi aku minta dari kepolisian setempat juga sudah dilaksanakan. Aku berbicara langsung pada Targa, dia akan mengurai gerombolan itu dari arah depan kami.


Tiba-tiba, sebuah peluru menghantam trafo yang tadi kulihat. Trafo itu meledak dan menimbulkan ledakan besar. Aku berlari ke arah Manggor, dia berada di balik sebuah mobil bekas di seberang tempatku bersembunyi. Ledakan trafo tadi menghasilkan sebuah gelombang elektromagnetik yang cukup besar. Semua alat elektronik kami mati saat itu juga. Dari kejauhan aku melihat Felik roboh ditembak oleh orang tidak dikenal. Aku mengamati sisi atas persembunyian kami. Sepertinya tembakan di trafo tadi berasal dari senapan yang sama yang merobohkan Felik. Aku sengaja tidak memberitahu Manggor tentang Felik. Dia masih meracau tidak jelas sambil menembakkan HK 416 yang tadi kuberikan padanya. Aku teringat musuh bebuyutanku, Ahmed Hasan. Ya! Sepertinya ini perbuatannya. Aku tidak akan pernah lupa corak dan pola permainannya. Dia akan memojokkan korbannya sampai putus asa, memainkan emosi sang korban dan kemudian menghabisinya dengan satu tembakan.


Aku belum tahu posisi Ahmed, Setelah ini, pasti Manggor yang akan jadi sasaran tembakan mautnya. Aku mengajak Manggor untuk segera bergerak. Seingatku ketika tadi membuka peta elektronik di PDA Manggor, beberapa meter didepan kami, akan ada sebuah pintu yang menuju ke selokan bawah tanah. Ahmed tidak akan punya kesempatan untuk membidik kami. Kami mulai berlari-lari kecil sambil terus menembakkan senjata kami masing-masing. Beberapa meter lagi, ada sebuah pintu besi di samping kanan kami, kusarungkan 2 pistolku, dan kuambil shot gun 112 Kurz 6 mm dari punggung Manggor. Aku membidik gembok yang mengunci pintu besi itu. Butuh 2 tembakan, sebelum gembok itu hancur. Manggor mendobrak pintu besi itu. Kami melanjutkan perjalanan menelusuri terowongan air itu. Dengan cermat, kuhitung berapa meter kira-kira kami melangkah. Kalau hitunganku tidak meleset, dan kami beruntung. Akan ada sebuah pintu di atas kami. Pintu itu tak jauh dari ruangan kecil tempat Paijan 1 bersembunyi. Kujelaskan semua itu pada Manggor sambil kami berjalan.


Setelah beberapa lama berjalan, kami belum juga menemukan pintu itu. Kami sudah mencoba semua lorong yang bercabang. Sepertinya, pintu itu sudah ditutup secara permanen. Radio kami masih mati. Targa mungkin sudah mengira bahwa kami berkomplot dengan Paijan1 dan membebaskannya dari tahanan. Berputar-putar di terowongan ini membuat kepalaku pusing. Akhirnya, kami memutuskan untuk keluar saja dari terowongan itu. Kami mengikuti arah air mengalir. Semua akan bermuara di Sungai di tengah kota. Kami melewati beberapa pintu ventilasi diatas kami, tapi pintu itu terlalu tinggi, kami tidak bisa menjangkaunya. Kami terus berjalan sampai akhirnya kami melihat cahaya bulat masuk ke terowongan. Udara yang tadi sesak berangsur sejuk. Aku menahan Manggor untuk tidak langsung keluar. Sepertinya Ahmed sudah membidik kami dari seberang sungai. Entahlah, tapi perasaanku kuat sekali. Dan melihat parameter di sekitar lubang itu. Sangat mudah bagi sniper bodoh sekalipun untuk membidik apa saja yang keluar dari lubang ini. Dan benar dugaanku. Manggor tidak mau mendengarkan perkataanku. Dia nekat menerobos lubang itu. Dia terjatuh ke sungai dengan luka tembak.


Aku terdiam, agak jauh dari lubang itu. Ahmed pasti akan menungguku sampai aku keluar dari lubang itu. Sungguh sebuah ide yang tolol. Aku melihat sebuah kayu yang seukuran kakiku. Kulepaskan sepatuku dan kupasangkan pada kayu itu. Aku memperlihatkan sepatu itu di tepi lubang, dan tak lama, sebuah tembakan mengenai sepatu itu. Aku berlari kembali memasuki lorong itu. Aku akan memutar, kembali ke pintu besi tadi. Semoga saja gerombolan itu sudah membubarkan diri. Aku tidak berharap banyak. Tapi seandainya masih ada, aku sudah siap. HK 416 yang tadi ditinggalkan Manggor sudah terisi penuh dengan magazen baru. Tiba-tiba, sebuah tembakan mengenai kaki kiriku. Sial, gerombolan itu sudah merangsek masuk. Kubalas menembakkan senapanku ke arah kepalanya. Hanya butuh 1 tembakan saja untuk menjadikan penembak kaki kiriku tadi menjadi mayat. Dugaanku salah, hanya 2 orang saja yang masuk ke terowongan itu. Mendekati pintu, aku mendengar suara khas orang berkomunikasi melalui radio, dengan sandi-sandi khas Densus 88. Targa sudah datang rupanya. "Petir" aku berteriak sekuat tenaga. Beberapa rekan Densus 88 yang mengerti sandi itu langsung menghampiriku. Kaki kiriku terasa sangat sakit. Tembakan tadi sepertinya menembus tulangku. Leo dan 1 orang lagi rekanku membopongku keluar. Sembari Leo mengeluarkan peluru dari kaki kiriku, Targa menanyaiku dengan berbagai macam pertanyaan. Seperti pemikiranku, dia mengira aku berkhianat. Kujelaskan semua yang terjadi dan dia mulai mengerti.


Dari radio panggil, seorang petugas dari kepolisian lokal menemukan tubuh Manggor, dia masih hidup, tapi terluka parah di bagian perut. Rupanya, Ahmed menembak terlalu kebawah. 2 cm saja lebih tinggi, nasibnya akan seperti Rengga, rekanku beberapa waktu yang lalu. Aku merebut PDA seorang rekanku. Aku menekan beberapa tombol dan tak lama kemudian, di layar PDA itu, sebuah peta elektronik tertampil, lengkap dengan kedipan merah tanda lokasi Paijan 1. Kedipan merah itu berjalan menyusuri sungai. Tanpa menanyaiku, Targa memerintahkan beberapa agen untuk menuju sungai dibalik gedung. Sungai yang tadi akan kusebrangi. Tiba-tiba, dari seberang jalan, sebuah mobil pengangkut sampah datang. Aku menangkap kejanggalan. Bukankah dalam jarak 2 km, daerah ini diblokir oleh kepolisian lokal. Bagaimana truk itu bisa masuk. Dengan pengaitnya, truk itu mengait sebuah tempat sampah besar yang tadi kugunakan untuk bersembunyi bersama Manggor. Dari kaca spion truk itu, aku melihat sosok yang sepertinya aku kenal, duduk di kursi kemudi itu. Ahmed Hasan, ya itu Ahmed Hasan. Mobil itu sudah selesai memuat bak sampah ke punggung truk.


Aku mendorong Leo yang belum selesai membebat lukaku. Aku berlari tanpa menghiraukan sakit di kakiku. Targa dan Leo berteriak-teriak sambil mengikuti aku dari belakang. Aku yakin ada sesuatu di bak sampah besar itu. Sebelum truk itu hilang di belokan, aku berhasil menembak ban belakang truk itu. Terdengar suara mendecit dan bergemuruh. Truk itu terguling setelah menabrak gedung dipinggir jalan. Aku berlari mendekati truk itu. Aku tidak ingin buruanku lolos. Dan benar saja, Paijan1 terlihat sedang merangkak keluar dari bak sampah yang hancur. Ahmed sudah bersembunyi dibalik truk yang sudah terbalik. Tidak berapa lama, semua agen Densus 88 yang tadi berkonsentrasi di balik gedung, mengepung truk itu. Ahmed mencoba lari melalui gang di sebelah truk, tapi seorang agen berhasil melumpuhkannya. 2 meluru menembus kaki dan betis kirinya. Paijan 1 berlari kearahku. Dia membawa sebuah golok tajam. Dia sepertinya menginginkanku mati. Aku juga sebenarnya menginginkannya menjadi mayat. Dia tertawa menyeringai, seringai yang kulihat 10 tahun yang lalu. Ingin rasanya aku menarik pelatuk PK380 ini. Aku sudah membidik tepat diantara kedua matanya.


Aku hanya berjarak beberapa meter saja dari Paijan 1, setan pembunuh keluargaku. Aku menundukkan kepalaku dengan cepat, menghindari sabetan goloknya. Kusodokkan pistol yang kugenggam tepat di ulu hatinya. Dia mundur beberapa langkah, lalu mencoba menendangku. Kutangkis tendangan itu dan ku sapu kaki yang menjadi tumpuan Paijan berdiri. Satu kali sapuan saja, Paijan 1 roboh, aku menginjak perutnya dan menodongkan pistolku. Darah segar tampak mengalir dari mulutnya. Seringai yang tadi diperlihatkannya berubah menjadi ringis kesakitan karena aku baru saja mematahkan tulang iganya dengan pistolku tadi. Aku bisa saja membunuh Paijan 1, dan dendamku akan terbalas. Teman-temanku mulai berdatangan. Beberapa agen menarik tubuh Paijan 1 dan memasukkannya di mobil, mobil yang sama untuk menahan Ahmed Hasan.

Rupanya, teman-teman sesama teroris sudah membuat sebuah rencana untuk membebaskan Paijan 1 ini, rapi sekali rencananya. Mereka sengaja menempatkan sebuah bak sampah untuk bersembunyi Paijan 1 yang kami kawal, dan kemudian menariknya dengan truk pengangkut sampah dengan tanda khusus yang tidak mungkin di periksa di pos pemblokiran. Yang masih menjadi bahan penyelidikan kami adalah sebuah pertanyaan. Darimana para teroris itu mengetahui rute perjalanan transfer malam ini? Terlalu banyak yang harus dicurigai, ini bukan operasi Densus 88, ini operasi gabungan dari berbagai agensi dan badan di kepolisian.


Di belakang ambulans yang baru saja datang. Aku bersantai dengan Leo dan Targa. Willy yang tadi menembak Ahmed bergabung dengan kami. Mereka mengomentari pekerjaanku hari ini. Tentang firasatku soal truk sampah, tentang Manggor yang baru saja telepon dari Rumah Sakit. Dan tentang tugas kami selanjutnya.........


Nama asliku Ni Luh Nara Tirtakinanti