Monday, October 27

Roda kehidupan

Berputar
Berputar
Berputar

Berhenti
Berhenti
Berhenti

Rodaku kempes
Terpaksa terhenti sejenak perjalananku


(P. Budiningtyas)

Thursday, October 16

Bintang Utara

Sinar yang tak pernah redup
Tak pernah lekang oleh jaman
Setia tak bergeming

Angkasa tanpa batas singgasana abadi
Sendiri mendaraskan asa
Mercusuar abadi para pencari pantai


(P.Budiningtyas)

Tuesday, October 14

Lintang Panjer Rina

Oh, lintang panjer rina
Tanpa kendat sumunarmu panjer
Gagah ginagah ing saperanganing bang lor
Jumeneng nata ing kala mangsa

Oh, lintang waluku tan nate jengkar
Cakrabirawaning prawira kapal kang arung samudra
Pranatamangsaning kadang tani
Pralambanging kasetyan tan winates

(P. Budiningtyas)

Monday, October 13

meretas mimpi

"Aku kecewa", batinku menjerit, tertahan di dasar hatiku. Pedih rasanya menyaksikan orang yang selama ini begitu aku hormati, yang aku jadikan panutan untuk bertindak ternyata menjualku atas nama gengsi dan nama baik murahan. Bapak adalah orang yang membuatku menjadi seperti sekarang ini; pribadi yang teguh pada prinsip dan tau membawa hidupku ke arah yang aku inginkan. Tetapi, Bapak kini malah menentang nurani tulusku, keyakinan teguhku, satu hal baru ketika aku mampu belajar menemukan kesejatian hidup.

Hatiku makin perih saat menyaksikan tingkah polah Bapak yang sama sekali tidak mencerminkan kata nama baik dan harga diri yang selalu beliau dengungkan di telinganya. Disapa Mas Sayogya dia malah mlengos. Keesokan harinya segerombolan orang tak dikenal menghajar Mas Sayogya sampe babak belur, mengirim pesan untuk tidak mendekati Dinar putri kesayangan Bapak kapanpun.

Tubuh dan tanganku bergetar hebat, menahan gelombang emosi yang sudah memuncak. Tetapi Mas Sayogya memelukku lembut, menahanku untuk tidak marah di depan Bapak. "Biarkan Bapakmu, Nar. Dia cuma seorang ayah yang ingin melindungi anaknya", ucapnya. Lama, aku menatap mata Mas Sayogya sambil mengobati luka2nya. Ia masih tersenyum hangat dan meyakinkanku bahwa semua akan baik2 saja.

Aku pun bangkit. "Baiklah..aku akan memberi kesempatan bagi Bapak untuk mencintaiku lagi. Siapa tau Bapak berubah, siapa tau Bapak bersedia memahami keyakinanku", kataku. Mas Sayogya tersenyum sumringah. Aku ragu saat mengucapkannya, dan sungguh, aku ragu mempercayai Bapakku lagi. Tetapi, di balik semua hak yang aku punya untuk marah dan memilih keyakinanku, aku memang harus bertahan dan mengalah, terus diam dan bersikap seolah-olah tidak ada apa2. Aku harus mampu datang kepada Bapak dan menyapanya seperti sedia kala, sambil berharap Bapak mau melihat kedewasaan sikapku.

Aku bermimpi di suatu hari nanti Bapak akan menganggukkan kepalanya atas apa yang telah kupilih dan membuang segala teori nama baik dan harga dirinya yang omong kosong itu. Tapi, sebagian hatiku menolak untuk mempercayai itu. Memang, aku tidak yakin akan hari depan yang akan aku hadapi. Tetapi, siapa tau keajaiban itu datang dan menyerah pada kekeraskepalaanku.


(P. Budiningtyas)

Friday, October 10

separuh usia

Terngiang lagi kata-kata bapak soal nama baik dan harga diri dalam pertengkaran kami tadi, "Sayogya itu siapa?orang kaya bukan, orang baik bukan, bekas bocah nakal. Cari jodoh itu mbok ya yang kira-kira sepadan. Kerja juga cuman buruh pabrik. Lha wong mung anak rondho ngono kok" Begitu kira-kira bapak gemreneng ketika aku mencoba buat mengungkapkan apa yang aku pendam selama ini. Dalam hati aku menanggapi perkataan bapak "Memangnya baik atau jelek itu takarannya apa?kaya itu kan hanya duniawi, memang mas sayogya bekas bocah nakal, tapi bukankah lebih baik bekas gali daripada bekas orang baik? bukankah lebih baik jadi buruh pabrik yang duitnya mepet daripada jadi pejabat tapi ngemplang duit rakyat? Bukankah lebih baik menjadi anak rondho daripada jadi anak kemin?"

Ah, entahlah, aku merasa bapak tidak adil. Semua pangandikannya sudah seperti mitralyur menghujam telingaku "Sayogya itu ndak punya sopan-santun, kapan dia main ke rumah dan bilang baik-baik kalo' dia mau macarin kamu? Aku belon pernah ketemu Nar." Lha kekmana mau kerumah, wong belum ke rumah saja tampang bapak sudah sepet seperti ketek beruk. Dia terlalu takut kehilangan martabatnya sebagai seorang bekas orang terpandang, daripada melihat anaknya sendiri bahagia.

"mbok coba kamu mau sama anaknya Pak jarwo itu. Bocahe ganteng, kuliahnya di Fakultas teknik, bapaknya juga mantri kesehatan." Semua perkataan bapak membuatku tambah mangkel, anaknya diperdagangkan dengan prestise seperti layaknya kambing yang dijual di pasar hewan. Bapak sudah seperti blantik sapi yang menjual anaknya hanya demi gengsi. Demi status mahasiswa teknik yang belum tau lulusnya kapan. Demi predikat besan mantri kesehatan yang kerjanya cman sekak di puskesmas

"Dinar, mbok dipikir masak2 lagi, jangan minggat dulu Nar, kasihan orang tuamu" ujar Mas Sayogya "begini saja, boleh kamu minggat dari rumah, tapi dengerin dulu aku ya" kata mas Sayogya sambil duduk di depanku "Berapa sih umur manusia itu? di rata2 saja. Taruhlah 60 tahun. Kamu sekarang masih 22 tahun Nar, belum ada separuh usia. Jdi begini saja, tunggulah sampai kamu selesaikan kuliahmu, beri kesempatan orang tuamu buat mencintai kamu lebih lama, berapa lama sih selesai kuliahmu. kan tidak sampai 1 tahun, taruhlah 6 bulan."

"jadi, bukan aku tidak setuju kamu minggat Nar, karena aku tau banget kalo itu kamu lakukan demi aku. Tapi mbok ya, kalo bisa ditunda dulu, bukan karena aku belum sanggup menanggung kamu, tapi kan kalo tuhan mengizinkan, kamu masih punya waktu buat mencintai aku selama 38 tahun? itu sudah lebih dari separuh umurmu Nar"

Dan aku hanya tercekat. Aku tidak tahu apa aku bisa menahan semuanya.

(P. Budiningtyas)

Tuesday, October 7

waktu

ada saatnya kita menangis
ada saatnya kita tertawa
ada saatnya kita sedih
ada saatnya kita tertawa

ada waktunya kita lahir
ada waktunya kita mati
ada waktunya kita berjalan
ada waktunya kita berhenti

ada masa kita memanen
ada masa kita menanam
ada masa kita menang
ada masa kita kalah

(P. Budiningtyas)