Wednesday, November 26

sekeng

Aku iki mung sadrema bakul bahu
Wong sekeng kang kepulut ing mobat-mabiting ngaurip
Ing segara nasib,
Uripku kaseret nuli kelelep

Ing astaning pranata kang minulya
Daktitipake uripira
Padatan kang rinacik
Ngupadi suryaning becik

Sangsaya dina binerkahana rahayu
Lir ing nirbaya gesang kang tinatu

(P. Budiningtyas)

Friday, November 7

SONGON NA DI JABU

Adong sada di simalolongmi na mambahen sai tu ho rohangku

sai naeng au haolonmu nian

Adong do sian hatami, ambahen sai taroktok jantungku

Arap rohangki, sai hot pangkilalaan on


Aut sugari ma dibotoho lungun ni ngolungki

dohot na sai lungunan au

Sai arap rohangku adong ro mambaru ngolungki

songon naung binahen mi tu ahu


Huhilala, songon na di jabu

songon na di bona pasogit

mulak tu huta hatubuan


Hubereng ma sian janjela dalan na lungun dohot na ganjang i

hubenge ma ngiung-ngiung bodarina

Alai denggan-denggan do au dison alani ho ito

jala adong hubereng sinar di na holom i


Aut sugari ma diboto ho, tung na arga di tingki on di ahu

nungnga tung mansai leleng hupaima ho

Aut sugari ma dibotoho, sonang ni rohangki dibahen ho

ndang hea hu araphon dihaholongi ho au songoni bagasna



Batak translation of Dawson Creek's OST, Feels Like Home by Chantal Kreviazuk

Wednesday, November 5

Laron

Sumunaring lampu kang cumanthel ing tritisan
Ing wayah dalu sepi yayah sinipi
Pandoming tumuju piyayi kang lelampahan
Kasdu mangentosi ing purwaning ratri

Aku iki bebasan laron kan ndrindil ing mangsa rendeng
Kinayungan petenging bawana dasih
Segaraning ngaurip kang cumantheng
Nyadong berkah lan wilujeng

Sanadyan ora suwe
Mugia dadi sumaraking manah
Tumrap kowe
Lan sedaya titah



(P. Budiningtyas)

Tuesday, November 4

perjalanan

marputar
marputar
marputar

so
so
so

kompes ban ku
terpaksa so jolo au sian pardalananki


(P. Budiningtyas)

Monday, October 27

Roda kehidupan

Berputar
Berputar
Berputar

Berhenti
Berhenti
Berhenti

Rodaku kempes
Terpaksa terhenti sejenak perjalananku


(P. Budiningtyas)

Thursday, October 16

Bintang Utara

Sinar yang tak pernah redup
Tak pernah lekang oleh jaman
Setia tak bergeming

Angkasa tanpa batas singgasana abadi
Sendiri mendaraskan asa
Mercusuar abadi para pencari pantai


(P.Budiningtyas)

Tuesday, October 14

Lintang Panjer Rina

Oh, lintang panjer rina
Tanpa kendat sumunarmu panjer
Gagah ginagah ing saperanganing bang lor
Jumeneng nata ing kala mangsa

Oh, lintang waluku tan nate jengkar
Cakrabirawaning prawira kapal kang arung samudra
Pranatamangsaning kadang tani
Pralambanging kasetyan tan winates

(P. Budiningtyas)

Monday, October 13

meretas mimpi

"Aku kecewa", batinku menjerit, tertahan di dasar hatiku. Pedih rasanya menyaksikan orang yang selama ini begitu aku hormati, yang aku jadikan panutan untuk bertindak ternyata menjualku atas nama gengsi dan nama baik murahan. Bapak adalah orang yang membuatku menjadi seperti sekarang ini; pribadi yang teguh pada prinsip dan tau membawa hidupku ke arah yang aku inginkan. Tetapi, Bapak kini malah menentang nurani tulusku, keyakinan teguhku, satu hal baru ketika aku mampu belajar menemukan kesejatian hidup.

Hatiku makin perih saat menyaksikan tingkah polah Bapak yang sama sekali tidak mencerminkan kata nama baik dan harga diri yang selalu beliau dengungkan di telinganya. Disapa Mas Sayogya dia malah mlengos. Keesokan harinya segerombolan orang tak dikenal menghajar Mas Sayogya sampe babak belur, mengirim pesan untuk tidak mendekati Dinar putri kesayangan Bapak kapanpun.

Tubuh dan tanganku bergetar hebat, menahan gelombang emosi yang sudah memuncak. Tetapi Mas Sayogya memelukku lembut, menahanku untuk tidak marah di depan Bapak. "Biarkan Bapakmu, Nar. Dia cuma seorang ayah yang ingin melindungi anaknya", ucapnya. Lama, aku menatap mata Mas Sayogya sambil mengobati luka2nya. Ia masih tersenyum hangat dan meyakinkanku bahwa semua akan baik2 saja.

Aku pun bangkit. "Baiklah..aku akan memberi kesempatan bagi Bapak untuk mencintaiku lagi. Siapa tau Bapak berubah, siapa tau Bapak bersedia memahami keyakinanku", kataku. Mas Sayogya tersenyum sumringah. Aku ragu saat mengucapkannya, dan sungguh, aku ragu mempercayai Bapakku lagi. Tetapi, di balik semua hak yang aku punya untuk marah dan memilih keyakinanku, aku memang harus bertahan dan mengalah, terus diam dan bersikap seolah-olah tidak ada apa2. Aku harus mampu datang kepada Bapak dan menyapanya seperti sedia kala, sambil berharap Bapak mau melihat kedewasaan sikapku.

Aku bermimpi di suatu hari nanti Bapak akan menganggukkan kepalanya atas apa yang telah kupilih dan membuang segala teori nama baik dan harga dirinya yang omong kosong itu. Tapi, sebagian hatiku menolak untuk mempercayai itu. Memang, aku tidak yakin akan hari depan yang akan aku hadapi. Tetapi, siapa tau keajaiban itu datang dan menyerah pada kekeraskepalaanku.


(P. Budiningtyas)

Friday, October 10

separuh usia

Terngiang lagi kata-kata bapak soal nama baik dan harga diri dalam pertengkaran kami tadi, "Sayogya itu siapa?orang kaya bukan, orang baik bukan, bekas bocah nakal. Cari jodoh itu mbok ya yang kira-kira sepadan. Kerja juga cuman buruh pabrik. Lha wong mung anak rondho ngono kok" Begitu kira-kira bapak gemreneng ketika aku mencoba buat mengungkapkan apa yang aku pendam selama ini. Dalam hati aku menanggapi perkataan bapak "Memangnya baik atau jelek itu takarannya apa?kaya itu kan hanya duniawi, memang mas sayogya bekas bocah nakal, tapi bukankah lebih baik bekas gali daripada bekas orang baik? bukankah lebih baik jadi buruh pabrik yang duitnya mepet daripada jadi pejabat tapi ngemplang duit rakyat? Bukankah lebih baik menjadi anak rondho daripada jadi anak kemin?"

Ah, entahlah, aku merasa bapak tidak adil. Semua pangandikannya sudah seperti mitralyur menghujam telingaku "Sayogya itu ndak punya sopan-santun, kapan dia main ke rumah dan bilang baik-baik kalo' dia mau macarin kamu? Aku belon pernah ketemu Nar." Lha kekmana mau kerumah, wong belum ke rumah saja tampang bapak sudah sepet seperti ketek beruk. Dia terlalu takut kehilangan martabatnya sebagai seorang bekas orang terpandang, daripada melihat anaknya sendiri bahagia.

"mbok coba kamu mau sama anaknya Pak jarwo itu. Bocahe ganteng, kuliahnya di Fakultas teknik, bapaknya juga mantri kesehatan." Semua perkataan bapak membuatku tambah mangkel, anaknya diperdagangkan dengan prestise seperti layaknya kambing yang dijual di pasar hewan. Bapak sudah seperti blantik sapi yang menjual anaknya hanya demi gengsi. Demi status mahasiswa teknik yang belum tau lulusnya kapan. Demi predikat besan mantri kesehatan yang kerjanya cman sekak di puskesmas

"Dinar, mbok dipikir masak2 lagi, jangan minggat dulu Nar, kasihan orang tuamu" ujar Mas Sayogya "begini saja, boleh kamu minggat dari rumah, tapi dengerin dulu aku ya" kata mas Sayogya sambil duduk di depanku "Berapa sih umur manusia itu? di rata2 saja. Taruhlah 60 tahun. Kamu sekarang masih 22 tahun Nar, belum ada separuh usia. Jdi begini saja, tunggulah sampai kamu selesaikan kuliahmu, beri kesempatan orang tuamu buat mencintai kamu lebih lama, berapa lama sih selesai kuliahmu. kan tidak sampai 1 tahun, taruhlah 6 bulan."

"jadi, bukan aku tidak setuju kamu minggat Nar, karena aku tau banget kalo itu kamu lakukan demi aku. Tapi mbok ya, kalo bisa ditunda dulu, bukan karena aku belum sanggup menanggung kamu, tapi kan kalo tuhan mengizinkan, kamu masih punya waktu buat mencintai aku selama 38 tahun? itu sudah lebih dari separuh umurmu Nar"

Dan aku hanya tercekat. Aku tidak tahu apa aku bisa menahan semuanya.

(P. Budiningtyas)

Tuesday, October 7

waktu

ada saatnya kita menangis
ada saatnya kita tertawa
ada saatnya kita sedih
ada saatnya kita tertawa

ada waktunya kita lahir
ada waktunya kita mati
ada waktunya kita berjalan
ada waktunya kita berhenti

ada masa kita memanen
ada masa kita menanam
ada masa kita menang
ada masa kita kalah

(P. Budiningtyas)

Wednesday, September 24

nggrantes

Panggrantesing galih kang sinikep sepi
Cuwaning ati kang katindes kahanan
Gigrig manahira, kasandingan nestapa
Sumunaring Surya kang wus pendar, jengkar ing bang wetan
Satuhu sepi kang sedelo meneh rinasa

Katresnan kang ngrembaka ing lokaning bawana
Kedah kinedah pedhot ing astaning angkara
Cumanthakaning titah kang adigang adigung
Ndelik ing saerenging kekadangan palsu

Pituduh kang njaremake manah
Jer pepinginan ora jumbuh ing kahanan
Bebasan kodok nggayuh lintang
Sliramu kaya panjer rina kang minulya

Friday, September 12

Genduk Duku

Gadis pantai bertapis nestapa
Menabur asa di pantai utara
Menyanyikan angan terpendam

Gadis Pantai masih bernyanyi
Jari lentik bermain pasir takdir
Suara ombak terhempas karang

Gadis Pantai terus bernyanyi
Kidung pengharapan dan cinta
Tanpa gentar pada hidup yang kadang menyiksa

(P. Budiningtyas)

Fajar Pagi

Terhalang kabut sunyi
Sang mentari terbangun malu-malu
Koceh si Manyar mengakhiri mimpi
Ufuk timur jingga menggugah mayapada

Embun pagi penyejuk jiwa
Pemulih mereka yang terluka
Pengakhir kejam dingin sang malam
Harapan baru si anak petani

(P. Budiningtyas)

Friday, September 5

Rara Mendut

Jelita wajahmu, anugrah yang kuasa
Membawa nestapa hidupmu
Taman hidupmu pantai utara tertinggal
Menabur asa terbelenggu kesombongan

Hiasan Puri Wirogunan yang menawan
Pahit jalan hidup kau jalani
Diantara gelimang bokor dan bejana
Sunyi hatimu terpenjara


(P. Budiningtyas)

Wednesday, September 3

Pranacitra

Le anakku Pranacitra,
Tumekeng pati awakmu,
Anglabuhi katresnan kang dadi panggayuhmu,
Nate matur aku marang kowe le,
Jer katresnan kuwi mligi kanggo piyayi linuhur
Jer Pekathik kaya sira kuwi ora nduweni pangaji

Le anakku Pranacitra
Bobot, bebet, bibit apa panduwemu?
Kowe kuwi sadrema abdi, wong karang padesan
Cedak watu adoh ratu
Mring asale sangkane nguni

Pranacitra anakku,
Satemah duhkita unjaling sepi,
Satuhu tinresnan mring prajanji
Tumekaning pati sira nglabuhi

(P. Budiningtyas)

Thursday, August 21

Keep Holding On

If the summer catches you on its heat
Then there’s no calm you find
Keep holding on


I f the winter traps you in an ice jail
Breezing your will and way
Keep holding on


If the wind blows way on high
Drowning you to the edge of your down
Just keep holding on


If the sky looks like a dead valley
And leaves its blue to you
Again, keep holding on

I f the world fights against you
Leaving its fears
Pushing you to your sorrow
All you have to do is only keep holding on


(P. Budiningtyas)

Tuesday, August 19

Sang Khalik

Lukisan langit maha luas
Tanpa batas
Permadani abadi naungan sang bintang

Semburat jingga senja nan damai
Melegakan para pencari-Mu
Menenangkan para pemuja-Mu

Sinar lembut sang fajar
Menaungi bergantinya malam
Pelangi di ufuk barat, seperti pengharapan yang tak pernah padam

Oh Sang Pencipta
Agung cipta-Mu, Maha daya kuasa-Mu
Abadi dan kekal

(P.Budiningtyas)

Puspanagari

Wus ndungkap suwidak ketiga,
Nggrantesing galih ing pangantu-antu
Semono suwe sira pamit linunga

Marang lintang panjer rina,
Dak takoke rawuhira
Tan ora paring warta

Duhkita yayah sinipi
Ing Sajroning pringgitan sepi
Duh puspaning nagari

Sira pamit jejibahan ngayahi
Tinundung dening maburing peksi
Ngupadi kamardikaning nagari


O satrianing nagari,
Pamratitising jiwa kang pengin merdika
Tohing pati ludira suci kanggo mulyaning nagari

(P. Budiningtyas)

Saturday, August 16

serenity, courage and wisdom



God, grant me the SERENITY
to accept the things that I cannot change
the COURAGE to change the things I can
and the WISDOM to know the difference
--www.uksw.edu--

Friday, August 15

Inginku

Ketika engkau ingin menjadi bunga,
Aku ingin menjadi matahari, agar engkau mendapat sinarku dan menari bersama kupu-kupu.

Ketika engkau ingin menjadi bulan,
Aku tetap ingin menjadi matahari, agar engkau bisa mendapat cahayaku,
Dan memantulkannya dan bersinar bersama bintang di kemuliaan malam.

Ketika engkau ingin menjadi burung api,
Aku ingin tetap menjadi matahari, terbanglah ke angkasa dan aku akan setia menantimu

(P.Budiningtyas)

Thursday, August 14

the story of a box in a stable

I am a kind of tree. Long time ago, I dreamt of being a jewelry box with beautiful carving surrounding my body. In fact, I was just an ordinary wooden box. My job was only carrying food for cattle, yet my dream of being a treasure box had gone away. No carving surrounded my body, no glory of this shape. And there was no gold or diamond inside me, just dirty grass and smelly straw. No king or queen touched me; just dirty mouth of a camel kissed my body.

One day, there was a man coming into my place. His wife was pregnant and it seemed to me that she would give a birth. This man told his wife that there was no place for them to stay. They were all too expensive for them. Finally that lady gave her birth in a cattle stable, the only place to stay. She put the newly born infant in me. And suddenly, thousand angels in the sky sang aloud. Their voices scattered heavily, passing by my body. They were glorifying the lord. The sky was so bright and beautiful. Later, the eastern star delivered The Three Kings to present a gift to the infant. I was amazed.

Now I know that my dream was granted. I kept the greatest treasure of mankind; the holy infant of a great man who saves the world.


(P. Budiningtyas)

Celathune Prau

Aku iki sadrema prau cilik, prau kang kagawe saka sempaling kayu, kayu seka alas ing sa'ereng-erenging gumuk. Dhisik aku pengin dadi kapal gedhe kang misuwur, ngupengi jagad tan winates. Ratu lan pangeran bakal numpaki aku, nyebrang segara wiyar, duta minulya kanggo nagari kang kawentar.

Nanging jebul manungsa tukang prau sing dhisik negor aku, ora duwe kawicaksanan kang linuwih, jebul wong iku mung tukang prau sing mung isa gawe prau kanggo mancing lan jejala mina pra nelayan, nasibku adoh saka pangimpenku. Saiki aku dadi prau biasa, ora momot ratu ora nyabrangke pangeran ora ka'ambah duta minulya.

Wus pirang suwe, aku supen karo impenku, aku wus lila legawa, dadi kanca nggota, anjaring mina cilik ing segara urip. Wus ora kepitung pira akehe anggonku golek mina, lan dadi panguripaning wong kang ngupadi becik.

Ing sawijining dina, ana mitra cacah rongpuluh, ngersakake nyabrang ana ing bang kidul. Sajroning mrau, salahsijining piyayi atur wucalan kabecikan babagan Pangéran kang sipat murah, Cinecep nulya wangsul, Mrih rahayu lumampah margi utami. Banjur piyayi mau sare.

Nuli piyayi mau sare, dumadakan langite mendhung, segara horeg muter, nguncalake banyu segara, aku kang mung prau cilik kabebeg ing banyu kang sansaya prahara. Piyayi mau di gugah marang sawijining abdi, deweke tumuli ngadeg lan atur sabda, alaming segara sing mau prahara, banjur lerem saknalika. Aku nuli bungah, kasembadan panggayuhku, anggraita menawa sing dak terke nyebrang mau putraning Allah kang jumeneng nata sedaya titah, Raja agung binathara kang manjalma dadi manungsa lumrah. Duh gusti kersaa dados sedaya ingkang Panjenengan kersa.

(P. Budiningtyas)

Cerita Sebuah Kayu

Sekarang aku hanya sebuah kayu tua. Dulu aku adalah sebuah pohon di hutan bukit subur. Rindang daunku, carang2ku menjulang ke angkasa. Tidak seperti teman-temanku yang lain yang ingin ditebang dan menjadi alat pembantu manusia, aku tidak mempunyai cita-cita itu, aku hanya ingin tumbuh dan mekar, sehingga kelak, manusia akan kagum melihat keperkasaanku, aku ingin lebih tinggi lagi dan tumbuh lagi, dan dekat dengan langit, tempat sang pencipta bertahta.

Tapi impianku sirna, sebelum aku menjadi pohon besar seperti yang aku impikan, manusia datang dan menebang aku. Mereka kemudian menguliti aku, membentuk aku menjadi sebuah gelondong besar, dan kemudian menyimpan aku di tempat yang pengap dan gelap. Berhari-hari aku merenungi nasibku, kecewa dan marah.

Hari demi hari, bulan berganti bulan, entah berapa musim kemarau aku sudah lewati, aku sudah berhenti menghitung hari dan lupa akan cita-citaku. Aku sudah lelah menyesali nasib. Sampai pada suatu pagi, datanglah dua orang ke tempatku. Mereka menggotong aku, dan memanggulkan aku pada seseorang. Orang itu kira-kira 33 tahun usianya. Di kepalanya tersandang mahkota dari semak-semak berduri, dan duri-duri itu menancap di sekujur kepalanya. Pakaiannya lusuh penuh darah, sepertinya orang ini baru saja dicambuk dan disiksa.

Dengan pasrah orang itu menerimaku dan mulai berjalan sambil memanggul aku. Aku yang begitu berat membuat orang itu jatuh tersungkur ke tanah. Tapi dia bangkit lagi, dia terus berjalan, sepertinya akan menuju sebuah tempat yang tinggi, jalannya menanjak dan berbatu, sepanjang jalan banyak orang meludahi orang ini, melempari dia dengan batu, tapi dia hanya diam. Aku iba melihat orang ini. Apa salah orang ini? Akhirnya datanglah sekelompok wanita mendekati orang ini, mereka meratap dan memberinya minum. Dan kemudian dia berjalan lagi.

Sesampainya di puncak bukit, pakaian orang itu di lucuti, para serdadu membuang dadu untuk mendapat pakaian orang itu. Kemudian kedua tangan dan kakinya dipaku pada tubuhku. Aku tidak bisa membayangkan betapa sakitnya ketika sebuah paku menembus pergelangan tangannya. Setelah terpaku, aku diangkat tinggi bersama orang itu. Terik matahari yang kejam seperti menusuk-nusuk tubuh orang itu. Menambah perih dan ngilu pada luka-lukanya.

Akhirnya setelah 3 jam, orang itu berkata "Bapa kedalam tangan-Mu kuserahkan nyawaKu" dan meninggal. Dan dari situ aku tahu siapa orang ini. Tangan-tangan pembuat mukjizat yang penuh kasih telah dipakukan pada ujung-ujungku. Pribadi agung penebus memanggul aku dengan penuh taat. Berbahagialah aku, karena menjadi dekat dengan Sang Pencipta. Lebih dekat dari yang kuimpikan dahulu.

(P. Budiningtyas)

Wednesday, August 13

Puisi Senja

Senandung kicau manyar
Mengantar sang surya pulang
Menggurat lembayung senja di cakrawala

Langit biru berarak pulang
Berangsur menghitam kelabu
Mengundang gelap

Anak2 gembala berlari
menuntun domba-domba kembali ke kandang
Terima kasih Tuhan, satu hari sudah terlewat

(P. Budiningtyas)

kanggo sedulurku

Aja ditangisi maesanku
Aja pijer nangis nganti kekejer
Jer aku wus ora neng kene
Aku ora turu


Aku iki tetesing udan ing mangsa ketiga
Banyu mili kang kasdu gawe suburing pari
Aku iki sumunaring srengenge nalika umun
Sing mesti njedhul ing bang wetan tan ora tau telat


Nalika kowe tangi ing wayah esuk,
Coba delengen ing awang-awang
Aku mabur satengahing manuk-manuk manyar
Muluk nganti watesing langit duwur
Bungah-bungahna atimu,
Kaya rawa kang akeh mina
Kaya prau kang bali seka segara dasih


Mula aja mbok tangisi lelunganku
Aja kekejer olehmu nandang duhkita
Usapen banyu luhmu.
Aku isih urip, aku ora turu

Suk ing tembe, aku lan kowe bakale ketemu
Ana ing alam kelanggengan
Panggonan wiyar kanggo peplayon among rasa
Swarga bingah kang dadi panglipur ati


(P. Budiningtyas)

Kudangane Bapak

Le, cah bagus, cup menenga
Aja pijer nangis wae
Galo delengen mbulane nanggal sepisan
Putih njlarit kaya alising widadari

Dadia taruna kang sumeleh, paribasan wohing jagung sing ditutup rapet, ora kaya jambu mete, duwi woh siji wae dipamer-pamerke.

Dadia salira kang satuhu setya, kayadene woh gedhang kang awuh sepisan banjur tumekeng pati.

Suk ing tembe yen nujuprana sliramu dadi pangembating praja, dadia salira kang adil tan mban cinde mban ciladan, paribasan cengkek pete sing ambagi kabeh uwohe pada. ora kaya cengkek rambutan sing uwohe ana sing gedhe ana sing cilik

Dadia bocah kang mligi nyadhong kautamaning urip, kaya dene woh bengkoang ing satengahin galengan, reget ing njaba, ananging resik ing penggalih

Suk bakale kowe ya tuwa le, ananging aja tiru bapakmu melu rekasa

(P. Budiningtyas)