Tuesday, March 29

Di Batas Senja 1 : Tlah Lekang Oleh Usia

Index cerbung :




cerita ini hanya fiktif belaka, jika terdapat kesamaan kisah dan atau kesamaan nama tokoh, itu merupakan kebetulan yang tidak disengaja






Di sebuah pinggiran kota kecil, hiduplah seorang kakek pemusik. Di rumahnya yang tidak begitu besar, terdapat banyak sekali alat musik tua yang terawat dengan baik. Orang-orang di sekitar
tempat tinggalnya biasa memanggil si kakek, mBah Broto, karena penampilannya yang mirip tokoh serial TV "Losmen" yang diperankan Mang Udel dulu. Baju beskap biru, sarung, dan tak lupa, setiap sore beliau biasa memainkan gitar kroncong kesayangannya di serambi rumah kecilnya yang asri. Beliau tinggal sendirian di rumah itu. Hanya ada Bu Yahmi yang setiap pagi membantu mBah Broto mencuci dan beres-beres rumah. Sore hari, kadang ada anak-anak kecil yang berlatih memainkan alat musik. Tapi hanya sekedar bermain-main saja. mBah Broto mengizinkan anak-anak di kampung untuk memainkan alat-alat musik koleksinya. Padahal itu alat-alat mahal yang mungkin pembuatnya saja sudah tidak ada.



Tidak ada yang mengetahui siapa sebenarnya mBah Broto. Nama asli beliau adalah Dr. Pamerdi Asmarandana, seorang ilmuwan musik yang dahulu terkenal dengan aransemen-aransemen klasik dan dimainkan oleh orkestra-orkestra dunia. Beliau juga pernah menjadi konduktor untuk orkestra-orkestra terkenal seperti Royal Philharmonic Orchestra, Melbourne Symphonic Orchestra, dan masih banyak lagi. Beliau menggemari musik keroncong. Dahulu, beliau mempunyai sebuah grup keroncong lengkap yang beliau bina di sela-sela kesibukannya membuat aransemen. Tak jarang grup keroncong yang beliau latih ini tampil untuk acara-acara di TVRI, satu-satunya stasiun televisi di Indonesia waktu itu.




mBah Broto dulu pernah kuliah di sebuah Institut seni di Yogyakarta, dan setelah menamatkan pendidikannya disana, beliau mendapatkan kesempatan untuk belajar musik di sebuah universitas di Jerman. Disana pula dia membangun relasi dengan musisi-musisi klasik terkenal untuk mau berkunjung ke Indonesia dan mengadakan konser di negara ini. Dan karena dedikasinya yang tinggi di bidang musik klasik dan kegetolannya dalam mengembangkan seni tradisi keroncong, sebuah universitas terkemuka di Jepang menganugerahinya dengan gelar doktor honoris causa. Tapi itu hanya masa lalu. mBah Broto berpedoman untuk tidak menceritakan masa lalunya itu pada orang-orang di sekitarnya. Takut dikira sombong pikirnya. Sekarang beliau menikmati masa tuanya di desa. Mengandalkan hasil pensiun dari tempat beliau mengajar dahulu. Kecil, tidak seberapa, hanya cukup untuk hidup dan memberikan sedikit upah untuk Bu Yahmi yang membantunya setiap pagi. mBah Broto tidak mempunyai keluarga. Beliau tidak pernah menikah. Kesibukannya dahulu telah melahap waktunya hingga tanpa beliau sadari, usianya beranjak senja.




Tidak ada lagi pekerjaan mengabah orkestra, atau membuat aransemen untuk grup orkestra dunia. Di usia senjanya, beliau banyak menghabiskan waktunya untuk menanam ketela pohung di belakang rumah kecilnya. Inilah sisa materi dari dedikasinya dahulu. Semenjak memutuskan untuk pensiun dari dunia musik dan berhenti melanglang buana beliau pulang ke Indonesia, tak banyak yang bisa beliau lakukan. Orang sekarang lebih senang mendengarkan musik-musik yang mudah dan syairnya tidak membuat pening kepala. Tak banyak orang yang menghargai musik klasik, jangankan musik klasik, musik keroncongpun sekarang jarang sekali di perdengarkan. Kalah dengan dendang melayu a la artis-artis karbitan yang suaranya mepet.




Hampir tidak ada jiwa dalam musik-musik itu, tapi orang suka, band-band dan penyanyi-penyanyi datang silih berganti tapi hanya numpang ngetop sebentar saja. Tidak ada yang betul-betul menghadirkan sebuah komposisi musik dan syair yang benar-benar bisa dinikmati lama, seperti karya-karya Gesang yang begitu abadi dan masih tetap cocok dengan jaman apapun. Sekarang, bahkan anak-anakpun terampas masa kanak-kanaknya karena terlalu asyik menonton televisi yang menampilkan begitu banyak lagu-lagu yang sebetulnya untuk orang dewasa. Lagu anak-anak tenggelam seiring komersialisasi hiburan yang kurang mengakomodasi hiburan untuk anak-anak. Padahal, lagu-lagu anak karya sahabat-sahabat mBah Broto seperti Ibu Soed, Pak AT Mahmud itu mengajarkan anak-anak banyak hal. Lagu-lagu seperti Desaku, Berkibarlah Benderaku, Bendera Merah Putih, dan banyak lagi itu mengajarkan kepada anak-anak untuk mencintai negerinya. Membantu apa yang disebut character building of nation, pikir mBah Broto.




Bagaimanapun juga, seniman ikut bertanggung jawab dalam membangun karakter negeri ini. Karena karya-karya mereka dapat menjadi propaganda untuk membangun karakter bangsa. Hari ini mBah Broto kembali trenyuh. Beliau sayup-sayup mendengar anak-anak kecil berjalan di belakang rumahnya untuk berangkat ke sekolah sambil berdendang lagu Andai Ku Jadi Gayus Tambunan. Entah apa yang ada di benak mereka. Sedari kecil mereka dicekoki dengan lagu yang begitu mengagungkan kemapanan materi dan kenyamanan hidup, tanpa mempedulikan bagaimana materi itu dicapai.




Di usia senjanya, sebenarnya beliau terpikir membuat sebuah sajian untuk masyarakat Indonesia, beliau ingin sekali lagi saja kembali menaiki panggung dan menyajikan irama-irama keroncong yang selama ini mBah Broto coba untuk aransemen kembali dengan sedikit sentuhan pop, sekedar untuk mengobati kerinduannya bermusi, dan juga agar anak-anak muda kembali tertarik dengan musik warisan itu. Tapi beliau belum tahu bagaimana caranya membuat sebuah pagelaran. Dahulu beliau tidak pernah mempelajari bagaimana sebuah pertunjukan itu diselenggarakan. Sebenarnya inilah penyesalan beliau, beliau hanya tahu bagaimana menyajikan sebuah lagu itu dan menjadikannya terdengar menarik di telinga. Sampai pada suatu hari. Datanglah seorang anak muda ke rumahnya.




Siapakah anak muda itu? Lalu bagaimana dengan impiah mBah Broto untuk membuat sebuah pagelaran seni keroncong? meski hanya untuk sebuah peringatan 17 agustus? ikuti kisahnya di sini dan disini





satu seri dari sebuah trilogi untuk mengikuti kecubung 3 warna




Monday, March 14

Negri di Awan : Sidang Para Batara



Syahdan kata sahibul hikayat, di khayangan di rentang waktu masa depan yang tak jauh dari masa tulisan ini ditulis. Sang Hyang Batara Wisnu sedang gundah gulana hatinya. Apa yang membuat Sri Narayana gelisah, tak lain adalah hasil sidang paripurna para batara yang baru saja dia ikuti. Adapun keputusan besar dari sidang paripurna itu adalah penugasan kepada Batara Siwa untuk segera mengembalikan keseimbangan bumi manusia. Keputusan ini diambil secara aklamasi Dewan Batara di Paseban Agung tahunan mengingat tingkah manusia bumi yang sudah mbambung dan lupa kepada alam yang sudah mengasuh mereka sejak awal kehidupan.



Mengembalikan keseimbangan bumi berarti membuat kiamat. Menghancurkan semua umat manusia dan peradabannya, lalu Sang Hyang Brahma akan menciptakan kembali kehidupan seperti awal mula peradaban. Terakhir Sang Nilakantha memencet tombol reset sistem bumi ini adalah 40.000 tahun yang lalu, tak lama setelah perang besar di padang Kurusetra. Dan hasilnya sungguh ngeri. Meteor yang tak terlalu besar, hanya sebesar kereta kuda, tapi menghantam bumi dengan kecepatan yang luar biasa. Meteor itu jatuh tepat di sebelah benua terbesar pada masa itu, mengakibatkan tsunami yang tak terukur dengan skala richter. Gempa dahsyat yang menyebabkan semua lempeng bumi bergetar, menyebabkan gempa dahsyat yang mengguncang seluruh permukaan bumi. Semua gunung api meletus dan menyemburkan magma panas dan wedhus gembel.



Kiamat besar itu pernah terjadi. Tak ada yang selamat dari kiamat itu, bahkan bakteri precil sekalipun, dan untuk beberapa lama, bumi menjadi alam tandus yang tak terhuni, sampai kemudian Batara Brahma menciptakan 10 Prajapati, nenek moyang manusia bumi yang baru. Sang Dewa Pencipta juga menciptakan Sapta Resi, 7 orang bijak yang membantu manusia membangun peradabannya kembali.


Dulu, Batara Wisnu mempunyai kuasa untuk menitis ke bumi. Mengajari manusia untuk mencintai alam dan lebih bijak dalam mengolahnya. Dia pernah menjelma menjadi Narasinga untuk mengingatkan raja lalim, Hiranyakasipu yang semena-mena terhadap rakyatnya. Dia juga pernah menitis menjadi ikan Matsya yang mengingatkan Raja Satyabrata akan bencana air bah yang mengancam bumi, dan beberapa jelmaan lagi yang beliau lakukan untuk memperingatkan manusia bumi agar patuh dan bersahabat dengan alam.


Tapi semenjak Dewan Batara tahu bahwa Batara Wisnu beberapa kali nyaru ke dunia, kuasa tersebut dicabut dari beliau. Sri Narayana tak lagi bisa menitis ke dunia dalam rupa apapun. Beliau hanya bisa mengirimkan tanda-tanda alam. Tapi sayang manusia sekarang tidak mampu membacanya. Mereka tetap saja cuek dan leleh luweh sama alam sekitarnya.


Koran dari bumi langganan Batara Wisnu baru saja datang. Beliau segera meletakkan koran itu setelah membaca sekilas tentang bencana Tsunami di Jepang, banjir bandang di Pidie. Ah, rupanya Batara Siwa sudah mulai melaksanakan tugasnya. Rupanya Sang Rudra memilih untuk membuat kiamat secara gradual. Tidak sekali pencet seperti apa yang terjadi 40.000 tahun yang lalu. Sedikit demi sedikit, bumi mulai bergeliat menuju pada keseimbangannya.


Sambil leyeh-leyeh di belakang istananya, Batara Wisnu membaca kolom demi kolom koran harian itu. Dari jauh terdengar lagu Katon Bagaskara yang menyanyikan lagu "Negri di Awan". Sambil menghayati kata-kata di lirik lagu itu, Sang Wisnu teringat kembali pada masa dahulu, ketika bumi masih ijo royo-royo. Sungai-sungai masih mengalir bersih tanpa sampah. Udara begitu segar dan sejuk. Bumi begitu damai, tanpa suara motor yang meraung-raung, ato mesin pabrik yang menggemuruh memekakkan telinga. Musim berganti secara teratur, sehingga para petani bisa mengatur tanaman mereka sedemikian rupa, sehingga mereka bisa panen secara teratur. Sawah dan ladang menghijau dikaki gunung yang menjulang biru. Angin sepoi-sepoi membelai rambut anak gembala yang menggembalakan ternak mereka di padang savana. Sementara di pinggir pantai, anak nelayan tergopoh-gopoh membantu ayahnya mengangkat hasil melaut semalam. Matahari semburat jingga menghiasi fajar yang mulai menyapa, diiringi riak gelombang pantai dan nyanyian camar mengidungkan tembang kedamaian.


Tiba-tiba, Batara Wisnu teringat sebuah klausul dari keputusan Sidang Batara tadi. Disitu termaktub bahwa jika saja ada manusia yang memang betul-betul sadar dan mau memelihara alam, maka demi hukum dan tata laksana jagad raya, kiamat untuk keseimbangan bumi bisa di postpone. Syaratnya, Batara Wisnu harus benar-benar meyakinkan Batara Siwa bahwa memang betul-betul ada manusia bumi yang memang peduli dengan lingkungannya. Di benaknya terpikir sebuah rencana untuk mengusahakan kiamat bumi bisa di tunda. Tanpa basa-basi lagi, Sang Narayana segera menuju ke garasi Garuda 2.0, sebuah kendaraan terbang dengan tenaga surya dengan label eco friendly pada mesinnya.


Di tengah-tengah penerbangannya, Sang Narayana mengeluarkan Iphone4 kepunyaannya. Ditekannya tombol speed dial kepada Batara Siwa "Halo, Adinda Trinetra, bisakah kita bertemu sebentar? Ada sesuatu yang ingin aku lobi kepadamu adinda." Dan Batara Siwa pun menjawab " Silahkan Kanda Narayana, kebetulan aku sedang reses dan bersantai di rumah." "Baiklah kalau begitu, aku sedang dalam perjalanan menuju Gunung Kailasha" Tukas Batara Wisnu. "Kutunggu kedatanganmu kanda" Jawab Batara Siwa dalam telepon.


Garuda 2.0 dirancang untuk melaju dengan kecepatan tinggi, namun tetap hemat energi, diatas kokpit kemudi, terdapat panel tenaga surya untuk menghimpun panas matahari dan kemudian diubah menjadi tenaga untuk menggerakkan mesin berkapasitas 5.8 L, yang mampu menghasilkan tenaga 580 PS atau setara dengan 450 kW dan torsi 560 Nm. Dengan tenaga dan torsi sebesar itu, Garuda 2.0 bisa melaju dari kecepatan 0-120 km/jam hanya dalam waktu 1.8 detik saja, baik di jalan darat maupun di udara. Dengan kemampuan secepat itu Batara Wisnu hanya membutuhkan waktu tidak lebih dari 20 menit untuk sampai di Gunung Kailasha, tempat Batara Siwa bertahta.


Sang Narayana mengurangi kecepatannya ketika memasuki komplek istana Batara Siwa, pemandangan di kanan kiri jalan yang menuju kediaman Sang Dewa penghancur sungguh mencekam. Hutan dengan pohon-pohon besar dan daun yang lebat tak terawat, berkabut, sunyi dan menyeramkan. Tidak ada tanda-tanda kehidupan disana. Garuda 2.0 melaju mendekati gerbang istana yang terbuka dengan sendiri. Pelan tapi pasti, kendaraan super itu berjalan mendekati istana. Dan pemandangan didalam gerbang ini sungguh berbeda dengan apa yang terlihat di luar gerbang tadi. Awan putih menghampar di sisi kanan kiri jalan, dan tampak sebuah istana megah dan besar.


"Selamat datang kanda Narayana, ada apa gerangan?" Dan setelah berbasa-basi sejenak. Batara Wisnupun mulai menceritakan klausul tentang penundaan kiamat bumi itu dan alasan kenapa Batara Siwa harus menunda pekerjaannya. Dan Sang Jagatpati berujar "Kanda, sebenarnya aku juga menaruh simpati kepada manusia bumi. Bagaimanapun juga mereka masih muda, sepertinya terlalu berlebihan bila Dewan Batara memutuskan untuk memusnahkan mereka dengan segera, tapi bagaimanapun juga kanda harus mengerti, aku hanya menjalankan tugasku sebagai penjaga keseimbangan bumi." "Aku mengerti dinda, tapi bukankah manusia bumi ini masih terlalu muda? Mereka masih belajar untuk menghargai alam bukan? Cobalah engkau pertimbangkan lagi, terakhir adinda menyelenggarakan kiamat agung, ketika manusia bumi sudah dewasa, sudah mengerti tentang akibat apa yang mereka perbuat, tapi tetap saja mereka mbambung." Batara Wisnu mencoba meyakinkan Sang Siwa, "Baiklah kanda, sebagai rasa hormatku padamu, aku akan mencoba untuk mencari sisik melik ke bumi, aku akan mencoba menyelidiki tentang bagaimana sebenarnya kehidupan di bumi sekarang ini. Dan jika benar perkataanmu itu, aku akan menggunakan Hak Veto-ku untuk menunda kiamat bumi" Jawab Batara Siwa menanggapi pernyataan Batara Wisnu kakaknya.


Singkat kata, Dewa Siwa pun menitis ke bumi dan menjelma menjadi manusia untuk mencari keterangan dan informasi tentang sejauh mana manusia bumi mau menjaga alam anugerah yang kuasa itu


Mau tau Batara Siwa ketemu siapa di bumi? Kira2 jadi ndak kiyamat bumi demi keseimbangan alam? Lalu taktik apa yang dijalankan Batara Wisnu biyar bumi endak kena penalti kiyamat?...klik disini ya! lalu terusannya lagi ada disini


Trilogi Negri di Awan:
1) “Negri di Awan : Sidang Para Batara” (saya sendiri)
2) Negri di Awan : Kemana Angin Mengalir (Dewo)
3) Negri di Awan : Menuju Negri Impian” (Jeng Devi)