Monday, September 6

-Part 8-

Jebakan


Namaku, Nara Stoijchkoff, anggota aktif Densus 88 antiteroris. Dua peristiwa pemboman yang menewaskan orang-orang yang aku sayangi membuatku mengubah kesedihanku menjadi kekuatan menakutkan. Saatnya menagih dendam


Dari fakta yang ku rekonstruksi bersama Targa dan Pak Keisuke, rupanya aku terpaksa percaya bahwa plot pembunuhan RI 1 itu betul-betul ada. Keterlibatan intelejen Malaysia dalam plotting ini juga semakin santer kuendus. Dari dokumen-dokumen kami di Densus 88 juga file-file lama yang disimpan oleh Pak Keisuke. Banyak peristiwa yang jika dibeberkan ke permukaan akan menjadi polemik. Bahkan mungkin bisa pecah perang. Isu bahwa negara tetangga itu sering menyerobot masuk ke wilayah perbatasan Indonesia bukan saya sebuah isapan jempol belaka. Bahkan sebuah fakta mencengangkan aku temukan dalam sebuah file audio hasil sadapan pembicaraan antara Perdana Menteri Malaysia yang dahulu ku tembak dahinya dengan peluru cat, dengan seorang petinggi Mahkamah Internasional. Malaysia menyuap 15 hakim yang berwenang melakukan voting untuk kepemilikan Pulau Sigadang dan Tasalembo, tempo hari. Dan hasilnya, 2 pulau itu jatuh ke wilayah Malaysia.

Aku dan Targa menuju TKP pembunuhan anggota brimob. Aku samasekali tidak membawa senjata, dan Targa menolak meminjamkan satu pistolnya untukku. Hal ini membuatku semakin curiga padanya. Jangan-jangan memang benar Targa hendak menjebakku dalam plot pembunuhan presiden ini. Sepanjang perjalanan kami diam. Aku segan untuk memulai pembicaraan sementara Targa sepertinya terlalu sibuk dengan isi dahinya. Hanya terdengar suara dari radio komunikasi di dashboard kiri mobil. Ada yang janggal dari pembicaraan di radio, dari dispatch maupun dari sesama agen di lapangan, tidak ada satupun yang membahas kejadian pembunuhan ini. Belum habis kecurigaanku. Targa sudah mengajakku turun. Kami sampai di TKP.

TKP masih sepi. Aku kembali keheranan, dari resto Pak Keisuke, kami membutuhkan waktu tempuh sekitar 20 menit. Sementara pos polisi terdekat bisa menjangkau tempat ini hanya dalam 10 menit. Kami memasuki rumah itu dengan hati-hati, Targa mulai mengeluarkan Walther P99-nya, dengan kunci pengaman sudah terbuka, Targa memegang pistol itu dengan moncong pistol menghadap ke tanah, persis seperti yang tertulis dalam prosedur standard operasi. Aku mengikuti Targa dari belakang. Targa melemparkan satu pistolnya ke arahku. Dengan sigap aku menangkap dan langsung bersiap menggunakannya. Sementara aku bersembunyi di samping pintu, Targa mendobrak dan merangsek masuk ke dalam rumah. Setelah memastikan tidak ada orang di dalam, aku segera masuk dan menyalip Targa yang bersembunyi di balik sebuah almari. Aku menerobos masuk ke ruangan berikutnya. Kulihat sesosok mayat dengan dada berlubang. Aku memberikan isyarat agar Targa segera mendekatiku.

Masih dengan pistol siap tembak, Targa mulai mendekati dan memeriksa mayat itu. Mayat pria ras asia berusia sekitar 40an tahun. Di lengan kiri mayat, terdapat sebuah tattoo bergambar elang yang mencengkeram pita, tanda sebuah kesatuan di Angkatan Laut. Orang ini benar-benar seorang serdadu sejati. Di rumah itu dipenuhi foto-foto mayat ini semasa hidupnya. Selain foto, terdapat sebuah pigura yang memajang beberapa lencana penghargaan tertempel di dinding, diapit dua bilah pedang pora yang dipasang saling menyilang.

Tak jauh dari mayat itu, tergeletak sebuah pistol Ruger SP101 kaliber 9 mm. Aku hapal semua merk dan jenis senjata hanya dengan sekali melihat. Pin pengaman pistol itu sudah terbuka. Sepertinya, si mayat sudah mengetahui jika nyawanya terancam. Aku menebak, dia ditembak dari luar rumah. Lubang peluru yang menembus dada kiri mayat itu cukup kecil, tembus langsung ke punggung kiri si mayat. Kami menemukan peluru yang menembus tubuh si mayat di dinding sebelah kiri seberang jendela. Di jendela kaca itu, ada sebuah lubang hasil terjangan peluru itu. Targa mengeluarkan peluru itu dari dinding. sebuah proyektil dengan dimensi yang terlihat gemuk dan panjang, dari warnanya peluru itu tidak terbuat dari campuran timbal dan besi, seperti pada proyektil biasa, tapi terbuat dari tembaga. “aku belum pernah melihat peluru seperti ini Ra’. Kamu?” Targa bertanya kepadaku.” Kaliber 7.62x51mm NATO .308, biasa digunakan untuk senapan-senapan buatan Israel seperti TCI M89-SR atau seri seri Galatz, tapi peluru ini sudah dimodifikasi. dengan proyektil sebesar ini, butuh mesiu yang cukup banyak agar bisa mendorong proyektil dan meluncurkannya dengan kecepatan maksimal, tapi selongsong peluru tidak terlalu besar agar bisa pas masuk kedalam chamber senapan.”

…dhesiiiggghhh” Belum sempat aku menyelesaikan analisaku, sebuah tembakan hampir mengenai dahi kananku. Arah tembakan persis sama dengan tembakan yang membunuh mayat itu. Tembakan kedua mengenai lengan Targa. Aku berlari dan menyeret Targa menuju tempat terlindung. Aku berlari menuju pintu belakang, sementara Targa memancing penembak itu dengan menembakinya. Aku keluar melalui jendela di samping rumah. Aku akan menjadi sasaran empuk jika aku keluar melalui pintu. Aku berlari menuju semak-semak di belakang rumah. Sepertinya si penembak belum mengetahui keberadaanku.

Aku bisa melihat posisi penembak dari tempatku bersembunyi. Cukup jauh dia berdiri sehingga aku tidak bisa membidiknya. Setelah yakin si penembak belum mengetahui keberadaanku. Aku melompat pagar belakang rumah dan langsung berlari menuju posisi penembak itu. Badanku terlindung diantara tumbuh-tumbuhan dan semak-semak yang banyak tumbuh di sekitar rumah. Aku membidik si penembak. “Berhenti, lemparkan senapanmu ke belakang dan taruh tanganmu di belakang leher.” Hardikku sambil menodongkan pistolku kea rah dahinya. Tanpa menghiraukan peringatanku, si penembak berbalik kearahku dan bersiap menembakkan senapannya. Aku tak mau kehilangan nyawaku. Dengan cepat, aku menarik pelatuk pistolku. Tak ayal, si penembak itu langsung roboh tak bernyawa. Tembakanku tepat mengenai dahi, dan menembus langsung mengenai otaknya.

Aku mendengar bunyi sirine polisi dan kegaduhan suara mobil berdatangan di halaman depan. 4 orang berseragam polisi lengkap dengan senjata taktis menghampiriku. Dia menyuruhku membuang pistolku ke arahnya, aku mencoba menjelaskan identitasku, tapi sepertinya dia tidak mau mendengarnya. Tanpa kusadari, dari belakangku, seseorang memegang tanganku dan memasangkan borgol di pergelanganku. Komandan polisi yang tadi menghardikku mengambil senapan si penembak yang kulumpuhkan tadi. Targa yang masih didalam rumah tampak masih kebingungan dengan apa yang terjadi. Tiba-tiba komandan polisi di dekatku itu membidik kepala Targa, ditariknya pelatuk senapan itu dan tak lama kemudian, robohlah kepala reguku itu bersimbah darah. Aku marah, aku memberontak dari dua orang yang membelengguku. Kutendang petugas berseragam yang di sebelah kiriku. Tendanganku mengenai lutut kanan, tampak dia mengerang kesakitan. Sambil menendang, kuserudukkan kepalaku ke dada petugas yang disebelah kananku. Gerakan tiba-tiba itu mengejutkan mereka. Dengan tangan masih terborgol ke belakang, aku bersalto sambil menarik tanganku melewati bawah pantatku. Tanganku sekarang berada di depan. Aku merebahkan badanku ke tanah, mengambil pistol yang tadi ku lempar dan belum sempat mereka ambil. Sayang, komandan polisi itu sigap dan dengan segera menembakkan senapan yang tadi ia gunakan untuk menembak Targa, aku melompat kesamping kiri dan terperosok ke tanah landai di samping rumah. Sampai di bawah, aku segera berlari melewati pagar dan menghilang di kegelapan. Pinggangku terasa nyeri tertembus peluru.

Aku, Ni Luh Nara Tirtakinanti dari Banjar Kerambitan.

1 comment:

Sugeng said...

Menarik sekali mbacanya membuat aku tak sadar kalau ini hanya cerita jebakan :D jadi ingat saat menjadi fans berat cerita silat kho ping ho
Salam hangat serta jabat erat selalu dari Tabanan