Friday, October 10

separuh usia

Terngiang lagi kata-kata bapak soal nama baik dan harga diri dalam pertengkaran kami tadi, "Sayogya itu siapa?orang kaya bukan, orang baik bukan, bekas bocah nakal. Cari jodoh itu mbok ya yang kira-kira sepadan. Kerja juga cuman buruh pabrik. Lha wong mung anak rondho ngono kok" Begitu kira-kira bapak gemreneng ketika aku mencoba buat mengungkapkan apa yang aku pendam selama ini. Dalam hati aku menanggapi perkataan bapak "Memangnya baik atau jelek itu takarannya apa?kaya itu kan hanya duniawi, memang mas sayogya bekas bocah nakal, tapi bukankah lebih baik bekas gali daripada bekas orang baik? bukankah lebih baik jadi buruh pabrik yang duitnya mepet daripada jadi pejabat tapi ngemplang duit rakyat? Bukankah lebih baik menjadi anak rondho daripada jadi anak kemin?"

Ah, entahlah, aku merasa bapak tidak adil. Semua pangandikannya sudah seperti mitralyur menghujam telingaku "Sayogya itu ndak punya sopan-santun, kapan dia main ke rumah dan bilang baik-baik kalo' dia mau macarin kamu? Aku belon pernah ketemu Nar." Lha kekmana mau kerumah, wong belum ke rumah saja tampang bapak sudah sepet seperti ketek beruk. Dia terlalu takut kehilangan martabatnya sebagai seorang bekas orang terpandang, daripada melihat anaknya sendiri bahagia.

"mbok coba kamu mau sama anaknya Pak jarwo itu. Bocahe ganteng, kuliahnya di Fakultas teknik, bapaknya juga mantri kesehatan." Semua perkataan bapak membuatku tambah mangkel, anaknya diperdagangkan dengan prestise seperti layaknya kambing yang dijual di pasar hewan. Bapak sudah seperti blantik sapi yang menjual anaknya hanya demi gengsi. Demi status mahasiswa teknik yang belum tau lulusnya kapan. Demi predikat besan mantri kesehatan yang kerjanya cman sekak di puskesmas

"Dinar, mbok dipikir masak2 lagi, jangan minggat dulu Nar, kasihan orang tuamu" ujar Mas Sayogya "begini saja, boleh kamu minggat dari rumah, tapi dengerin dulu aku ya" kata mas Sayogya sambil duduk di depanku "Berapa sih umur manusia itu? di rata2 saja. Taruhlah 60 tahun. Kamu sekarang masih 22 tahun Nar, belum ada separuh usia. Jdi begini saja, tunggulah sampai kamu selesaikan kuliahmu, beri kesempatan orang tuamu buat mencintai kamu lebih lama, berapa lama sih selesai kuliahmu. kan tidak sampai 1 tahun, taruhlah 6 bulan."

"jadi, bukan aku tidak setuju kamu minggat Nar, karena aku tau banget kalo itu kamu lakukan demi aku. Tapi mbok ya, kalo bisa ditunda dulu, bukan karena aku belum sanggup menanggung kamu, tapi kan kalo tuhan mengizinkan, kamu masih punya waktu buat mencintai aku selama 38 tahun? itu sudah lebih dari separuh umurmu Nar"

Dan aku hanya tercekat. Aku tidak tahu apa aku bisa menahan semuanya.

(P. Budiningtyas)

No comments: