Monday, July 5

-part 6-

One Shoot, One Kill


Aku , Nara Stoijchkoff, agen Densus 88 yang ditugaskan di Jakarta, keluarga asliku tewas terbunuh di bom bali 2002. Aku di adopsi oleh sebuah keluarga dari Amerika Serikat. Sejak aku memutuskan untuk mengikuti program anti-teroris ini. Aku tahu, hidupku tak akan pernah sama lagi.


SUV yang kutumpangi bersama 3 rekanku dan 1 orang paijan ini melaju cepat di jalanan ibukota, 2 layar 10 inch tertempel di dashboard, layar di sebelah kiri yang paling dekat dengan kemudi menunjukan peta rute jalan yang akan dan sudah kami lalui. Titik merah bergerak dan berkedip-kedip itu menunjukan lokasi mobil kami, dan layar yang lebih kecil disampingnya, menunjukkan data-data perimeter dan gambar visual dari sekitar SUV kami yang di upload dari markas. Ini bukan sembarang SUV, Body mobil terbuat dari Adamantium Alloy, baja stainless yang ringan tapi mampu menahan peluru. Kaca anti-peluru yang hanya bisa dihancurkan dengan getaran di frekwensi yang dirahasiakan. Dan GPS supecanggih yang bahkan bisa memberitahu ketika penumpangnya tidak mengenakan sabuk pengaman. Di permukaan badan mobil, dipasang elemen yang bisa mendeteksi benda panas yang mendekat ke arah mobil. Misil atau roket misalnya.


Dari Speaker radio, Meta, dispathcer kami tak henti-hentinya memberikan arah dan belokan selanjutnya yang musti kami tempuh. Rute perjalanan dari Cipinang menuju Mabes terasa sangat jauh. Belum lagi jika tiba-tiba komandan memerintahkan kami untuk memutar melewati jalan dengan resiko di sergap lebih kecil. Dengan tenang dan waspada, Leo mengemudi sambil mendengarkan instruksi dari Meta, di belakang Willy dan Ganang mengapit paijan, Willy tak pernah melepaskan genggamannya dari HK P30 yang ia sarungkan di pinggangnya tanpa kunci pengaman. Sementara Ganang terlihat lebih tenang memangku HK MP5-nya, senapan laras pendek itu memudahkannya untuk tetap memegang senapan itu dalam posisi duduk. Tampak darah menetes dari mulut paijan, pasti luka di mulut akibat kusodok dengan popor HK 416-ku.


Aku tetap berkomunikasi dengan teman-teman di SUV belakangku. Mereka membawa Paijan 2. Purno Widodo, seorang desertir paskhas yang terbukti mencuri peluru dari kesatuannya untuk kemudia dipasok pada para teroris di Aceh. Entah karena memang takdir, atau hanya kebetulan belaka, Paijan yang kukawal ini begitu dekat dengan kehidupanku. Begitu dekat hingga aku masih ingat seringainya ketika dia berdiri di samping mobilku di parkiran dekat Paddy's Cafe, 10 tahun yang lalu. Dia membawa sejumlah telepon selular di bajunya. Jika waktu itu aku sudah menjadi agen seperti sekarang, aku tentu akan berpikir untuk memeriksanya. Tapi apalah daya seorang remaja yang baru saja mengenal pengharum ketiak. Kenapa bukan Paijan 2 saja yang kukawal. Rasanya, ingin sekali kubelokkan stir mobil yang dipegang Leo, menepikannya di tempat yang sepi, lalu menyeret Paijan yang kukawal ini ke pinggir jalan. Kuperintahkan dia untuk bersujud dihadapanku. Dan dengan penuh kelegaan, aku melubangi jidatnya dengan senapan otomatisku ini. Lalu aku membuat laporan bahwa Paijan mengadakan perlawanan dan terpaksa dilumpuhkan.


Lamunanku buyar ketika tiba-tiba jantungku berdebar keras, kepalaku seperti ditusuk jarum berkali-kali, rasanya sama seperti ketika kemarin aku dan reguku di sergap di hotel laknat itu. Sama seperti ketika aku mendorong Rengga dulu ketika kamar kost-nya meledak. Seperti firasat bahwa sebentar lagi akan ada serangan. "................ciiiieeeeeeeessssssssh" Tiba-tiba aku melihat sebuah cahaya berwarna kuning kebiruan melaju cepat ke arah SUV kami. "...........Buuummm." Misil Darat, "Alfa 1 kepada Dispatch, kami dalam kode merah...Ulangi kami dalam kode merah" Aku melapor ke markas sambil melihat SUV teman kami di belakang tergelimpang. Misil yang tadi kulihat menghantam tepat di samping kendaraan itu. Walaupun tidak meledak. Gaya sentrifugal misil tadi sukses menggulingkan SUV dibelakang kami itu. Saat itu juga, 2 Motor pengawal kami langsung berhenti dan membuat barikade di belakang mobil yang terguling

"Leo, Mundurkan mobil sampai di dekat Tim Alfa2 Willy ikut aku! Ganang, kamu tetap di mobil!" Perintahku cepat kepada rekan-rekanku. Sampai di dekat mobil yang terhantam misil tadi, aku mengajukan permintaan untuk melepaskan tembakan balasan. Sementara permintaan tersebut di proses, aku meminta Willy untuk menyiapkan Senapan Cheytac M200. "Tapi Ra'..kita belum dapat ijin untuk menembak." Protesnya. "Aku tidak menyuruhmu menembak, aku hanya menyuruhmu menyiapkan M200 itu!" Tukasku sambil berusaha membuka pintu belakang mobil alfa2. Budi dan Manggor, rekan-rekanku yang didalam mobil terguling itu keluar dari mobil satu per satu. Felik, keluar paling akhir sambil membopong Paijan 2 yang pingsan. "Bentuk perimeter di sekitar 2 SUV ini. Kita mobile dengan 1 kendaraan saja. Cepat!!" Budi dan Manggor yang lebih dulu keluar dari mobil segera membantu Felik untuk memasukkan Paijan 2 yang pingsan kedalam mobil yang aku tumpangi.


"Ra', Paijan 1 kabur, Ganang tertembak di leher" lapor Manggor. "Anj**ng" aku memaki, kami terlalu berkonsentrasi menolong teman-teman kami di belakang, dan kami lengah menjaga Paijan1. Melalui radio aku mendapat lampu hijau untuk menembak, sekaligus aku melaporkan hilangnya Paijan 1 dan tertembaknya Ganang."OK..Kita bagi tugas! Manggor, Felik, ikut aku mengejar Paijan 1. Willy, Leo kalian antar Paijan 2 sampai di Helipad terdekat, bawa 2 Polisi itu untuk mengawal kalian, aku akan meminta air support dari Brimob." Mereka mengangguk setelah kuberi pengarahan. Mobil yang tadinya kutumpangi mulai meninggalkan tempat kejadian membawa 1 Paijan dan 2 rekanku dengan dikawal oleh 2 petugas pembuka jalan itu.


"Ayo Ra', kita bergerak!" Pinta Manggor. "Ya bentar, ada 1 hal yang musti kuselesaikan disini" Jawabku sambil mengambil M200 Cheytac yang tadi dirangkai Willy. Aku naik ke sisi samping SUV yang rubuh tadi yang sekarang menjadi sisi atas. Aku mengambil posisi tiarap di belakang senapan. Dengan cepat, kubidik sebuah sasaran melalui night scope yang tertempel di senapan jitu itu."Tetap waspada Manggor, Felik.. Paijan 1 tidak akan bisa lari cepat. Aku memukul perutnya dengan senapan waktu dia ngoceh di mobil tadi."Kataku sambil terus konsentrasi pada sebuah kepala di sebuah atap gedung bertingkat. "Dasar Gila!" Felik menukas cepat. Kepala itu masih tidak beranjak dari sana setelah menembakkan misil yang menggulingkan mobil kami tadi. Aku melempar sebuah Meteorological and environmental sensor, Kestrel 4500 kepada Manggor dan sebuah Vector Range Finder. "Manggor, kau lihat kepala diatas gedung itu, dia yang menembakkan misil dan menggulingkan mobilmu, cari jarak, kecepatan angin,dan kelembaban perimeter ini!" Tak berapa lama, Manggor menyebutkan beberapa angka kepadaku. Aku bergumam dalam hati" Kau pikir kau tak terlihat hah. Selamat Jalan Bangsat..Sampai Jumpa di neraka." "Dhuooor" Suara tembakanku menggema memenuhi jalanan sepi itu. Dari Lensa teleskop senapan yang kutembakkan tadi, kulihat sebuah kepala memuntahkan darah, dan kemudian roboh seketika. Aku sempat melihat matanya yang terkejut, dan tangannya yang tergopoh gopoh kaget mengarahkan peluncur misilnya ke arahku. Tapi peluru .408 Chey Tac yang kutembakkan itu melesat lebih cepat ke arahnya.

Dari sisi jalan, Felik melambaikan tangannya. Memintaku untuk segera mendekat. Manggor lebih dulu menghampirinya. "Darah Ra'..sepertinya ini darah Paijan 1, itu jika pukulanmu tadi cukup membuatnya mutah." Lapor Felik. "Aku yakin itu" Jawabku. Aku memukul Paijan 1 tadi dalam posisi duduk, ketika dia merubah posisi secara tiba-tiba, darah yang menggumpal di luka pukulan akan naik dan keluar melalui mulut atau hidung. Pukulan itu juga akan membuatnya mual dan tidak bisa berlari cepat. Manggor menemukan lagi tetesan darah di sebuah selasar sempit diantara 2 gedung besar. Kami segera memasuki selasar itu. Aku membawa senapan jitu besar itu dalam posisi siap menembak. Kumanfaatkan night scope yang tertempel di atas senapan itu untuk melihat jauh kedepan kami.

Dari night scope, aku melihat segerombolan orang berkumpul di ujung gang. Jika melihat tampilannya, mereka bukan orang baik-baik. Aku memerintahkan rekan-rekanku untuk waspada. Felik yang membawa senapan serbu semi otomatis MP 5, membuka kunci pengaman senjatanya, dia masih berusaha menyembunyikan senapan pendek itu diantara badan dan lengan kanannya. shot gun 112 Kurz 6 mm yang dibawa Manggor masih tertenteng rapi di belakang punggungnya. Tapi tangannya sudah siap memegangi pistol Walther P99nya, moncong pistol hitam itu masih menghadap ke tanah tapi penguncinya sudah terbuka. Aku melepas night scope di senapan jitu yang tadi kubawa, kusandang senapan itu bersama HK 416 yang dari tadi belum lepas dari bahuku. Setelah berjalan cukup jauh, lenganku gemetar menahan senapan berbobot tak kurang dari 8 kilo itu.


"ceklek..tiiiit" "..tit..tit..tit.." Ranjau. Felik berdiri gemetar tanpa bergerak ditempatnya. "Diam disitu lik, jangan banyak gerak!" Manggor berjongkok di kaki Felik sambil meneliti ranjau yang diinjak Felik. "VS 50, kelihatannya baru saja dipasang" Ujar Manggor menganalisa temuannya. "Beri aku waktu 5 menit" Manggor mulai mengutak atik ranjau itu. Diambilnya Feldmesser di kakiku untuk memotong membuka ranjau itu. Aku mendengar langkah langkah kaki. Gerombolan orang-orang yang tadi berada di ujung gang mulai mendekat. Aku berlindung dibalik kotak sampah yang terbuat dari batu bata, tak jauh dari posisi Manggor dan Felik. "Cepatlah Tumanggor!!, orang-orang itu mendekat sepertinya bukan untuk bermain basket denganmu." Aku mulai menyiagakan Cheytac M200 itu. Dari radio panggil, aku meminta ijin untuk menembak. Ini operasi gabungan resmi, kami tidak bisa sembarangan menembak, bahkan kami harus membuat laporan untuk setiap peluru yang kami tembakkan. Jam berapa kami menembak, dan berapa jumlah peluru yang kami lepas. Tidak seperti operasi penyamaran seperti biasa yang membolehkan kami untuk menembak seenak hati, meski harus membuat laporan, tapi keputusan untuk menembak masih ada di tangan kami masing-masing.


Dari night scope yang kembali kupasang di punggung senapan, aku melihat sesuatu yang berkilap di tangan orang-orang yang memegang kami. "Wow...mereka bawa Dessert Eagle, Manggor" "Tembak saja mereka" Jawab Manggor sambil mengutak-atik ranjau buatan Singapura itu. "...Dhas..dhas...dhas" "drrrrrrrrrrt...drrrrrrttt...." Tiba-tiba, suara tembakan begitu saja menggelegar. Bersamaan dengan Tumanggor yang berhasil menjinakkan ranjau darat itu. Dia menarik Felik ke belakangku. Aku mulai menembakkan senapan yang kubawa itu. Manggor berlari sambil menunduk ke seberang gang.Felik mulai menembakkan MP5nya kearah gerombolan tak dikenal itu. Sambil menembak, Felik terus meracau "Gila,tiap kali aku tugas sama kamu, pasti dapet kontak senjata Ra'. Kamu seperti magnet peluru" "Biasa...selebritis teroris" Jawabku sambil terus menembakkan peluru .408 Chey Tac dari senapan jitu. Aku berusaha membuat semua peluru di magazen ini berguna. Tak ada satupun tembakanku yang meleset. Pelatihanku di Marine Corps Base Quantico dulu betul-betul berguna. "Dhuoorrrr..." kutembakkan peluru terakhirku dari magazen M200 ini.


Manggor berteriak kepadaku sambil menembakkan Walther P99nya "Nara, Kalau kita terlalu lama disini, Paijan 1 bisa lepas" "Berikan PDA-mu!!" "Ketika aku memukulkan Popor senapanku tadi, aku menempelkan tracker di perutnya." Manggor melempar PDAnya kearahku. "Dasar, aku bisa melaporkanmu untuk perbuatan indisipliner dan melangkahi prosedur dengan menempel tracker sembarangan." "Lapor saja Manggor, kulaporkan kamu ke istrimu kalau kamu suka mengunduh video cabul." Jawabku "ah Sialan" Sinyal dari tracker yang kuletakan di badan paijan 1 mulai terlihat. Itu berarti, mengingat tracker itu hanya bertenaga kecil, Paijan 1 hanya berjarak kurang dari 60 meter dari kami.

Tembakan demi tembakan masih terus menghujani tempat kami berkumpul. Manggor terlihat membalas semua tembakan itu dengan pistol hitam itu. Dia sudah menggunakan magazen terakhirnya. Pelurunya habis untuk menghalau gerombolan itu mendekati kami. Mereka tak lebih dari orang buta yang memegang senjata. Hanya 1 peluru menyerempet lengan Manggor. Aku tertembak di dada kiri. Tapi kevlar ini membuatku tetap hidup. Jumlah gerombolan itu seperti tidak ada habisnya. Aku menggunakan HK 416ku untuk membalas tembakan mereka. Jarak kami dengan Paijan 1 hanya sekitar 2 gedung saja. Kami butuh melewati gerombolan penyerang itu untuk bisa menemukan Paijan. Aku mencoba menemukan jalan memutar agar bisa melewati baku tembak yang membosankan ini. Aku berlari memutari gedung tua di sampingku. Sayang, ternyata dibalik gedung ini, gerombolan lain sudah menghadangku. Mereka serta merta menembakiku dengan senjata laras panjang dan beberapa pistol. Kami terkepung, dari PDA Manggor, aku bisa melihat bahwa paijan mulai bergerak menjauhi kami.

Aku kembali ke tempat Manggor dan Felik berlindung, Felik menunjukkan aku sebuah tangga menuju atap gedung. Kuberikan M200 CheyTac yang tadi kubawa pada Felik, kami mulai membuat parameter disekitar tangga, agar Felik bisa memanjat ke atap gedung. Tak lama, Felik sampai di atap gedung. Dia mulai menembakkan M200 itu untuk melindungi kami. Saatnya mengamuk. Aku memberikan HK 416ku pada Manggor, kuminta dia untuk tetap dibelakangku, dan kami mulai merangsek maju. Aku mulai beraksi dengan kedua pistolku, kupastikan 1 peluru yang terlepas dari pisto-pistol ini tepat mengenai sasarannya. Manggor berlari sambil menghadap ke belakang, berjaga jaga kalau saja ada serangan dari belakang. Tanganku pegal, jari-jari manisku seperti tidak lagi sanggup menarik pelatuk pistol-pistolku ini. Kami kepayahan. Aku bersembunyi di balik sebuah tong sampah, di atasku ada sebuah trafo listrik besar. Manggor masih menembaki gerombolah di depan kami dengan senapanku tadi. Aku memperingatkannya untuk menghemat pelurunya. Dari radio panggil di pundakku, aku mendengar laporan bahwa tim pemukul bantuan yang dikomandoi Targa tidak lama lagi akan datang. Blokir yang tadi aku minta dari kepolisian setempat juga sudah dilaksanakan. Aku berbicara langsung pada Targa, dia akan mengurai gerombolan itu dari arah depan kami.


Tiba-tiba, sebuah peluru menghantam trafo yang tadi kulihat. Trafo itu meledak dan menimbulkan ledakan besar. Aku berlari ke arah Manggor, dia berada di balik sebuah mobil bekas di seberang tempatku bersembunyi. Ledakan trafo tadi menghasilkan sebuah gelombang elektromagnetik yang cukup besar. Semua alat elektronik kami mati saat itu juga. Dari kejauhan aku melihat Felik roboh ditembak oleh orang tidak dikenal. Aku mengamati sisi atas persembunyian kami. Sepertinya tembakan di trafo tadi berasal dari senapan yang sama yang merobohkan Felik. Aku sengaja tidak memberitahu Manggor tentang Felik. Dia masih meracau tidak jelas sambil menembakkan HK 416 yang tadi kuberikan padanya. Aku teringat musuh bebuyutanku, Ahmed Hasan. Ya! Sepertinya ini perbuatannya. Aku tidak akan pernah lupa corak dan pola permainannya. Dia akan memojokkan korbannya sampai putus asa, memainkan emosi sang korban dan kemudian menghabisinya dengan satu tembakan.


Aku belum tahu posisi Ahmed, Setelah ini, pasti Manggor yang akan jadi sasaran tembakan mautnya. Aku mengajak Manggor untuk segera bergerak. Seingatku ketika tadi membuka peta elektronik di PDA Manggor, beberapa meter didepan kami, akan ada sebuah pintu yang menuju ke selokan bawah tanah. Ahmed tidak akan punya kesempatan untuk membidik kami. Kami mulai berlari-lari kecil sambil terus menembakkan senjata kami masing-masing. Beberapa meter lagi, ada sebuah pintu besi di samping kanan kami, kusarungkan 2 pistolku, dan kuambil shot gun 112 Kurz 6 mm dari punggung Manggor. Aku membidik gembok yang mengunci pintu besi itu. Butuh 2 tembakan, sebelum gembok itu hancur. Manggor mendobrak pintu besi itu. Kami melanjutkan perjalanan menelusuri terowongan air itu. Dengan cermat, kuhitung berapa meter kira-kira kami melangkah. Kalau hitunganku tidak meleset, dan kami beruntung. Akan ada sebuah pintu di atas kami. Pintu itu tak jauh dari ruangan kecil tempat Paijan 1 bersembunyi. Kujelaskan semua itu pada Manggor sambil kami berjalan.


Setelah beberapa lama berjalan, kami belum juga menemukan pintu itu. Kami sudah mencoba semua lorong yang bercabang. Sepertinya, pintu itu sudah ditutup secara permanen. Radio kami masih mati. Targa mungkin sudah mengira bahwa kami berkomplot dengan Paijan1 dan membebaskannya dari tahanan. Berputar-putar di terowongan ini membuat kepalaku pusing. Akhirnya, kami memutuskan untuk keluar saja dari terowongan itu. Kami mengikuti arah air mengalir. Semua akan bermuara di Sungai di tengah kota. Kami melewati beberapa pintu ventilasi diatas kami, tapi pintu itu terlalu tinggi, kami tidak bisa menjangkaunya. Kami terus berjalan sampai akhirnya kami melihat cahaya bulat masuk ke terowongan. Udara yang tadi sesak berangsur sejuk. Aku menahan Manggor untuk tidak langsung keluar. Sepertinya Ahmed sudah membidik kami dari seberang sungai. Entahlah, tapi perasaanku kuat sekali. Dan melihat parameter di sekitar lubang itu. Sangat mudah bagi sniper bodoh sekalipun untuk membidik apa saja yang keluar dari lubang ini. Dan benar dugaanku. Manggor tidak mau mendengarkan perkataanku. Dia nekat menerobos lubang itu. Dia terjatuh ke sungai dengan luka tembak.


Aku terdiam, agak jauh dari lubang itu. Ahmed pasti akan menungguku sampai aku keluar dari lubang itu. Sungguh sebuah ide yang tolol. Aku melihat sebuah kayu yang seukuran kakiku. Kulepaskan sepatuku dan kupasangkan pada kayu itu. Aku memperlihatkan sepatu itu di tepi lubang, dan tak lama, sebuah tembakan mengenai sepatu itu. Aku berlari kembali memasuki lorong itu. Aku akan memutar, kembali ke pintu besi tadi. Semoga saja gerombolan itu sudah membubarkan diri. Aku tidak berharap banyak. Tapi seandainya masih ada, aku sudah siap. HK 416 yang tadi ditinggalkan Manggor sudah terisi penuh dengan magazen baru. Tiba-tiba, sebuah tembakan mengenai kaki kiriku. Sial, gerombolan itu sudah merangsek masuk. Kubalas menembakkan senapanku ke arah kepalanya. Hanya butuh 1 tembakan saja untuk menjadikan penembak kaki kiriku tadi menjadi mayat. Dugaanku salah, hanya 2 orang saja yang masuk ke terowongan itu. Mendekati pintu, aku mendengar suara khas orang berkomunikasi melalui radio, dengan sandi-sandi khas Densus 88. Targa sudah datang rupanya. "Petir" aku berteriak sekuat tenaga. Beberapa rekan Densus 88 yang mengerti sandi itu langsung menghampiriku. Kaki kiriku terasa sangat sakit. Tembakan tadi sepertinya menembus tulangku. Leo dan 1 orang lagi rekanku membopongku keluar. Sembari Leo mengeluarkan peluru dari kaki kiriku, Targa menanyaiku dengan berbagai macam pertanyaan. Seperti pemikiranku, dia mengira aku berkhianat. Kujelaskan semua yang terjadi dan dia mulai mengerti.


Dari radio panggil, seorang petugas dari kepolisian lokal menemukan tubuh Manggor, dia masih hidup, tapi terluka parah di bagian perut. Rupanya, Ahmed menembak terlalu kebawah. 2 cm saja lebih tinggi, nasibnya akan seperti Rengga, rekanku beberapa waktu yang lalu. Aku merebut PDA seorang rekanku. Aku menekan beberapa tombol dan tak lama kemudian, di layar PDA itu, sebuah peta elektronik tertampil, lengkap dengan kedipan merah tanda lokasi Paijan 1. Kedipan merah itu berjalan menyusuri sungai. Tanpa menanyaiku, Targa memerintahkan beberapa agen untuk menuju sungai dibalik gedung. Sungai yang tadi akan kusebrangi. Tiba-tiba, dari seberang jalan, sebuah mobil pengangkut sampah datang. Aku menangkap kejanggalan. Bukankah dalam jarak 2 km, daerah ini diblokir oleh kepolisian lokal. Bagaimana truk itu bisa masuk. Dengan pengaitnya, truk itu mengait sebuah tempat sampah besar yang tadi kugunakan untuk bersembunyi bersama Manggor. Dari kaca spion truk itu, aku melihat sosok yang sepertinya aku kenal, duduk di kursi kemudi itu. Ahmed Hasan, ya itu Ahmed Hasan. Mobil itu sudah selesai memuat bak sampah ke punggung truk.


Aku mendorong Leo yang belum selesai membebat lukaku. Aku berlari tanpa menghiraukan sakit di kakiku. Targa dan Leo berteriak-teriak sambil mengikuti aku dari belakang. Aku yakin ada sesuatu di bak sampah besar itu. Sebelum truk itu hilang di belokan, aku berhasil menembak ban belakang truk itu. Terdengar suara mendecit dan bergemuruh. Truk itu terguling setelah menabrak gedung dipinggir jalan. Aku berlari mendekati truk itu. Aku tidak ingin buruanku lolos. Dan benar saja, Paijan1 terlihat sedang merangkak keluar dari bak sampah yang hancur. Ahmed sudah bersembunyi dibalik truk yang sudah terbalik. Tidak berapa lama, semua agen Densus 88 yang tadi berkonsentrasi di balik gedung, mengepung truk itu. Ahmed mencoba lari melalui gang di sebelah truk, tapi seorang agen berhasil melumpuhkannya. 2 meluru menembus kaki dan betis kirinya. Paijan 1 berlari kearahku. Dia membawa sebuah golok tajam. Dia sepertinya menginginkanku mati. Aku juga sebenarnya menginginkannya menjadi mayat. Dia tertawa menyeringai, seringai yang kulihat 10 tahun yang lalu. Ingin rasanya aku menarik pelatuk PK380 ini. Aku sudah membidik tepat diantara kedua matanya.


Aku hanya berjarak beberapa meter saja dari Paijan 1, setan pembunuh keluargaku. Aku menundukkan kepalaku dengan cepat, menghindari sabetan goloknya. Kusodokkan pistol yang kugenggam tepat di ulu hatinya. Dia mundur beberapa langkah, lalu mencoba menendangku. Kutangkis tendangan itu dan ku sapu kaki yang menjadi tumpuan Paijan berdiri. Satu kali sapuan saja, Paijan 1 roboh, aku menginjak perutnya dan menodongkan pistolku. Darah segar tampak mengalir dari mulutnya. Seringai yang tadi diperlihatkannya berubah menjadi ringis kesakitan karena aku baru saja mematahkan tulang iganya dengan pistolku tadi. Aku bisa saja membunuh Paijan 1, dan dendamku akan terbalas. Teman-temanku mulai berdatangan. Beberapa agen menarik tubuh Paijan 1 dan memasukkannya di mobil, mobil yang sama untuk menahan Ahmed Hasan.

Rupanya, teman-teman sesama teroris sudah membuat sebuah rencana untuk membebaskan Paijan 1 ini, rapi sekali rencananya. Mereka sengaja menempatkan sebuah bak sampah untuk bersembunyi Paijan 1 yang kami kawal, dan kemudian menariknya dengan truk pengangkut sampah dengan tanda khusus yang tidak mungkin di periksa di pos pemblokiran. Yang masih menjadi bahan penyelidikan kami adalah sebuah pertanyaan. Darimana para teroris itu mengetahui rute perjalanan transfer malam ini? Terlalu banyak yang harus dicurigai, ini bukan operasi Densus 88, ini operasi gabungan dari berbagai agensi dan badan di kepolisian.


Di belakang ambulans yang baru saja datang. Aku bersantai dengan Leo dan Targa. Willy yang tadi menembak Ahmed bergabung dengan kami. Mereka mengomentari pekerjaanku hari ini. Tentang firasatku soal truk sampah, tentang Manggor yang baru saja telepon dari Rumah Sakit. Dan tentang tugas kami selanjutnya.........


Nama asliku Ni Luh Nara Tirtakinanti

2 comments:

Pakde Cholik said...

dibuat buku bagus lho kisah ini.
salam hangat dari Surabaya

nDaru said...

@Pakde
Nyarik seponsor dulu Dhe...sama ceritanya biar kumplit dulu