Wednesday, August 11

pulang

Ijin cuti dari Mabes baru saja keluar. Setelah rentetan kejadian dan tugas kemarin, Targa merekomendasikan aku untuk diberi ijin cuti selama 1 bulan. Luka di kaki kiriku memang belum pulih betul. Rasa ngilu masih kurasakan karena peluru yang kemarin mengenai kakiku menembus sampai tulang, tapi aku beruntung, peluru itu tidak sampai mematahkan tulang keringku. Dokter bilang dalam 2 minggu ngilu itu akan hilang dengan sendirinya.

Aku keluar dari markas paling modern yang dipunyai kepolisian negara itu dengan air muka datar. Selama hampir 8 tahun hidupku, aku tidak mempunyai kesibukan lain selain menembak dan mengendus teroris. Entah berapa dahi teroris yang sudah kulubangi, entah berapa peluru yang sudah kutembakkan. Aku tidak pernah lagi menghitung. Aku menyukainya, dan aku ahli dalam melakukannya. Sekarang aku diperintahkan untuk cuti. Sebenarnya aku malah tidak tahu apa yang akan aku kerjakan.

--

Setelah melapor di markas Densus 88 di Denpasar, aku menuju ke tempat kelahiranku. Dari Markas Denpasar, aku dipinjami sebuah mobil untuk sarana transportasiku. Nissan Terrano Grand road keluaran tahun 2002 dengan GPS dan kaca anti peluru. Ah..mereka tidak merelakanku pergi jauh. GPS ini tentu untuk melacak kemana saja aku pergi. Di bawah dashboard ada senjata standard Densus 88, senapan karabin M203, lengkap dengan 2 magazen cadangan di dalam dashboard. Lumayan untuk sebuah pasukan elite kepolisian di negara berkembang seperti negara ini.


Aku mulai memasuki daerah kelahiranku. Rambu-rambu penunjuk arah yang baru saja kulewati menunjukan daerah Tabanan masih 27 km lagi. Di samping kiriku, menghampar sawah yang menguning siap panen. Tak jauh dari sisi kananku, tampak pohon kelapa melambai lambai di sisi pantai, dengan air laut yang biru kontras dengan pantai pasir putih. Pemandangan khas pedesaan pinggir pantai Bali yang sudah 10 tahun lebih tidak kulihat lagi.


Dulu, hampir setiap akhir pekan, aku menghabiskan waktuku di pantai yang tak jauh dari rumahku. Menatap mentari yang hilang di Selat Bali, lalu melihat kerlap kerlip Pulau Jawa dari kejauhan. Aku akan sampai di rumah tepat ketika ibu selesai menyiapkan makan malam. Plecing kangkung yang renyah, Ayam mesisit yang menggoda selera, dan lawar bali yang terkenal itu. Ibuku bisa memasak semua itu dengan sempurna, pas sekali di lidahku. Dan setelah malam selesai, kami berkumpul di halaman depan di samping pura. Dan ayah biasanya menceritakan kisah-kisah khas Bali, seperti Hikayat Jayaprana dan Layonsari, Satua I pucung, atau kekidungan lagu-lagu Bali. Hampir semua kidung Bali aku hapal. Dari dapur, biasanya sayup sayup terdengar ibu menggumamkan Kidung Pangredana

Pangredana ne keluwur
Maka pengundang Dewane
Asep menyan majegahu
Ambunnyane merik sumirik
Cenana pada mesanding
Pemendak Ida Bhetara
Anggenne diluwur
Ngaran Tiga Sakti

Terngiang lagi Kidung-kidung Bali yang biasa di nyanyikan ibu sambil membereskan rumah. Suaranya yang merdu, sangat fasih melafalkan kata-kata dalam Bahasa Bali. Hampir semua ibu-ibu di Banjar Kerambitan pandai berkidung. Kata-kata yang menenteramkan hati. Syair-syair ajaib yang mampu mendinginkan kepala setelah lelah belajar di sekolah.

Tak terasa, mobil yang aku kendarai mulai memasuki wilayah Banjar Kerambitan. Jalan yang dahulu masih berbatu, sekarang sudah ter aspal halus. Jalan ini yang dulu kulewati sehari-hari menuju sekolah di ujung banjar. Terakhir aku melewati jalan ini, 10 tahun yang lalu, ketika keluarga Stoijhkoff menjemputku dari rumah Pak Bendesa (kepala desa dalam Adat Bali). Keluarga ayah dan ibuku tidak berasal dari banjar ini. Mereka pindah dan entah aku tidak ingat lagi mereka berada dimana.


Tidak banyak yang berubah dari Banjar Kerambitan ini. Jalan-jalan masih sama, hanya beberapa bangunan saja sudah tampak berdiri di lahan-lahan yang dahulu kosong. Aku menghentikan mobil hitam ini di sebuah rumah tua. Pura di depan rumah tampak rapi dan masih tertata baik, tanda bahwa pura itu masih sering dipakai warga. Tapi rumah kayu di belakang pura tampak tua dan kurang terawat. Itulah rumahku. Tempat aku lahir dan menjalani masa remajaku. Halaman rumah yang menjadi satu dengan halaman pura tampak bersih tersapu. Dengan langkah berat, aku turun dan mendekati rumah itu. Hatiku tercekat. Ingatanku seperti kembali ke 10 tahun yang lalu. Aku melihat ayahku yang sedang memandikan ayam, adikku yang sibuk menyerut bambu untuk layang-layang. Beberapa itik berlarian bersama induknya mencari cacing di samping rumah.


Sayup- sayup kudengar kidung purwa kaning dari kejauhan. Kidung yang biasa dinyanyikan ibu sambil memisahkan beras dari sekam.



Purwa kaning angrip tarum
Ningwana ukir kehadang labuh
Kartika panedengin sari
Angayon tangguli ketur
Angringring jangge mure

Sukanya arja winangun
Winarna sari sampuning riris
Sumahur ingoling tangi
Rumrumning puspa priyaka
Munggwing srenganing rejeng

"Maaf bu, mencari siapa ya?" Lamunanku buyar ketika suara lembut itu terdengar dari belakang tubuhku. Aku membalikkan badanku, dan tampaklah seorang ibu setengah baya sedang menunggu jawabanku. Aku tidak menjawab, hanya sebuah nama terucap dari bibirku "Mbok Komang" Sang pemilik nama, ibu setengah baya itu heran, bagaimana aku bisa mengetahui namanya. Aku membuka kacamata hitam yang membungkus mataku. Dan ketika melihat keseluruhan wajahku, serta merta dia memelukku, dan pecahlah tangisnya. "Ni Luh...Ni Luh...." Aku masih berusaha tenang dan menanyakan kabarnya dengan Bahasa Bali yang sudah mulai kulupakan, "Punapi Gatra, Mbok Komang?" Mbok Komang adalah wanita yang mengasuhku dulu. Bukan pembantu kami, tetapi dia sering datang dan membantu pekerjaan rumah ibuku.


Mbok Komang kemudian pulang mengambilkan kunci rumahku. Selepas aku pergi, Mbok Komanglah yang membersihkan rumahku. Tidak ada yang menghuni rumah ini. Dan Mbok Komang dengan suka rela merawat rumah ini, jika nanti aku pulang, masih ada rumah yang aku tuju. Tak lama kemudian, Mbok Komang datang dengan kunci di tangannya. "Aku pulang dulu Ni Luh, masih ada pekerjaan, nanti malam kalau kamu butuh teman,pergilah ke rumahku. Suamiku masuk pagi, anak-anakku sekolah di luar kota"kata Mbok Komang sambil mengalirkan air di kamar mandi. "Baik Mbok, terima kasih"


Hari mulai gelap ketika aku bangkit dari dudukku di sudut ruangan. Cukup lama aku membiarkan pikiranku bernostalgia, pulang kembali ke rumahku yang sebenarnya. Rumah damai yang pernah membantuku tumbuh menggeluti pikiran dan kesadaranku. Mbok Komang betul-betul pandai merawat rumah ini. Tak ada satu perabotpun yang berpindah tempat. Dari ruang tamu di depan sampai dapur, semua penataannya masih sama. Hanya beberapa perabot masak di berikan kepada tetangga, atau dipakai sendiri oleh Mbok Komang. Aku memakluminya. Mbok Komang mengirimi aku makan malam. Menunya hampir sama dengan apa yang dulu dimasak oleh ibuku. Makanan khas pedesaan Bali yang tak pernah lagi kujumpai sepanjang pengembaraanku. Setelah makan, aku tertidur pulas. Perjalanan dari Denpasar ke Krambitan ini ternyata cukup membuatku lelah.


--

Aku terbangun ketika sayup-sayup kudengar orang membacakan mantra di pura depan rumah. Kata Mbok Komang, banyak warga banjar yang berdoa di pura itu. Selain ukurannya yang cukup luas, letak rumahku yang berada persis di tengah desa membuat pura itu mudah dijangkau oleh warga. Bau kemenyan dan kembang sesaji yang dibawa para pendoa itu menusuk hidung dan membangunkanku. Persis ketika kanak-kanakku dulu, aku terbangun karena sesaji yang dibawa ibu. Biasanya setelah itu dia akan membangunkan kami untuk berdoa pagi bersama-sama di pura. Di suatu pagi, ibu membuat sesaji khusus dan melingkarkan sebuah gelang benang di lenganku sambil mengucap doa "Ne cening magelang benang, apang ma uwat kawat ma balung besi" hari ulang tahunku, menurut penanggalan Bali.

Dari jendela aku melihat beberapa orang berdoa di pura, beberapa gadis seusiaku, dan seorang pedanda, bersama-sama mereka membaca syair doa dari kitab Bhagawadgita. Syair-syair yang sudah lama berkarat di otakku. Dulu, sebelum tidur, ayah atau ibu selalu membacakan satu syair untuk kuingat dan kurenungkan sembari tidur. Kami memang bukan dari keluarga brahmana, tetapi Ayah dan Ibuku mendidikku dengan ajaran-ajaran Hindu. Dulu bahkan aku hapal semua hari pantangan. Hari apa aku tidak boleh menebang pohon, atau hari apa aku tidak boleh membunuh hewan. Semua sudah terkubur di dasar otakku. Aku sudah berubah menjadi malaikat pencabut nyawa yang paling menakutkan bagi musuh-musuhku. Tanganku bergelimang darah dari para manusia yang mengaku dikirim Tuhan untuk menghukum orang-orang kafir. Tuhan yang mana?


Di hari ke tiga kepulanganku. Aku ikut berdoa di pura, tetangga kiri dan kananku mulai mengenalku kembali. Dan mereka tidak pernah berubah. Keramahan Banjar Kerambitan tak pernah lekang oleh waktu. Beberapa diantara mereka sudah bercucu. Remaja-remaja yang dulu menjadi sebayaku kebanyakan sudah berkeluarga. Mereka tidak pernah menanyakan pekerjaanku, dimana aku tinggal, atau hal-hal yang aku rahasiakan lainnya. Mbok Komang memberitahuku bahwa beberapa hari yang lalu, baru saja ada upacara ngaben untuk ayah dan ibuku. Aku terdiam. Di tepi halaman itu, airmataku untuk pertama kalinya meleleh. Aku menangis tanpa terisak. Mbok Komang memelukku dari belakang sambil membisikkan nasihat-nasihatnya. Dia kemudian membimbingku masuk ke pura.


Seperti Narada memuji Bathara Wisnu dan Kresna, aku berdoa di pura itu. Entah bahasa apa yang kupakai, kenangan indah di rumahku ini tidak membuatku gontai. Aku justru ingin seribu kali lebih kuat untuk memerangi musuh-musuhku. Aku ingin memasuki Padang Kurusetra-ku lebih dalam.


"trrrriiiit...triiiiiiiit..trrrrrrrrrrriiiiiiiiiiiitt" Telepon selularku berbunyi, tepat ketika aku keluar dari pura. Suara Targa terdengar di speaker telepon "Cuti kamu batal Ra', segera melapor ke Markas Denpasar, Ahmed Hasan lolos dari parameter..."






2 comments:

Anonymous said...

Ini baru benar-benar novel!
Like it.

nDaru said...

@Bang Dewo,
tengkyu2...selamat menanti trilogi berikutnya