Friday, July 2

-part 5-

Ulang Tahun Kehidupan Lama


Aku , Nara Stoijchkoff, agen Densus 88 yang ditugaskan di Jakarta, keluarga asliku tewas terbunuh di bom bali 2002. Aku di adopsi oleh sebuah keluarga dari Amerika Serikat. Sejak aku memutuskan untuk mengikuti program anti-teroris ini. Aku tahu, hidupku tak akan pernah sama lagi.

Pagi itu, aku terbangun karena dering telepon selular disampingku. Sebuah glock30 terjatuh dari meja samping tempat tidurku ketika aku meraba-raba mencoba meraih telepon selularku. Sambil memungut pistol buatan Austria itu, aku menerima panggilan di telepon selularku itu. Dari Targa, direktur pelaksana dari program antiteror tempatku bekerja. “Hi Nara, udah bangun kan? Segera ke markas, satu jam lagi ada briefing dari Mabes. Sepertinya soal pemindahan Paijan nanti malam.” Paijan adalah istilah intern kami untuk menyebut tahanan berstatus khusus. Teroris. “OK..Sejam lagi aku nyampek” Jawabku.

Aku menuju kamar mandi di sebelah kamarku. Setelah mandi secukupnya, aku membuka lemari tempat menaruh alat-alat mandi. Kuputar sebuah knop kecil dibalik pintu lemari kecil itu, dan terangkatlah lemari kecil itu keatas. Dibalik lemari itulah aku menyembunyikan senjata-senjata dan sejumlah peluru. Ada 2 Barretta92FS, 1 Glock30, 2 Walther P99, dan berlusin-lusin peluru kaliber 9 mm. Aku juga menaruh beberapa senjata genggam lain di beberapa tempat di rumah ini. Aku ingin selalu siap ketika sewaktu-waktu aku diserang. Aku juga mempunyai sebuah ruang rahasia di samping garasi, di ruang itu, aku menyimpan beberapa senjata laras panjang, termasuk sebuah Cheytac 8.85 mm. Di ruang itu pula aku biasa membersihkan senjata-senjataku. Hidupku tidak jauh dari senapan dan pistol. 2 alat pembunuh itu seperti sudah menjadi kepanjangan tanganku. Aku mahir menggunakan mereka, merk apapun, maupun model apapun.

Rumah ini sudah menjadi semacam arsenal pribadiku. Aku mendapatkan senjata-senjata ini atas kebaikan hati salahsatu rekanku dulu ketika masih bertugas di sebuah agensi antiteroris di Amerika. Dia mempunyai koneksi yang sangat baik dengan otoritas imigrasi Negara ini, sehingga, dengan mudah senjata-senjata itu menjadi milikku. Mengandalkan senjata standard dari Densus 88 saja tentu tidak cukup buatku.

Aku melirik jam dinding yang tergantung tak jauh dari tempatku berdiri. “ah..masih pagi” pikirku. Aku menuju dapur dan mencari kopi disana. Aku menyeduh beberapa sendok kopi dengan air panas. Tanpa gula. Ini yang membuatku mampu bertahan seharian tanpa makan. Kunikmati kopiku di beranda belakang rumah sambil menyalakan sebatang rokok filter. Kuraba bagian bawah meja tempatku menaruh kopi. Agak kedalam aku meraba, dan ketemulah yang aku cari. Sebuah Smith & Wesson 500ES, kuputar-putar revolver di tengah pistol itu, memastikan bahwa senjata itu tidak akan macet ketika nanti kupakai. Setelah aku yakin bahwa pistol itu baik-baik saja, kuletakkan kembali di tempat semula.

Aku meneguk kopi pahit tanpa gula ini, sambil melayangkan pandanganku ke sawah yang menghampar di belakang rumahku. Tak terasa, pandanganku membawa penglihatanku jauh sampai di sebuah banjar kecil di Tabanan, sekitar 10 tahun yang lalu. Banjar (desa) Kerambitan, tempatku menghabiskan masa kecil dan remajaku. Aku tak jauh beda dengan anak-anak desa yang lain. Bermain di pematang sawah, sekolah, dan mengenal cinta monyet seperti gadis-gadis Bali yang lain. Ayahku seorang petani. Hampir setiap hari aku mengikuti ayahku mengurus subak di pinggir banjar, sambil bermain-main air yang jernih dari pegunungan. Dan ketika kami pulang, ibuku marah-marah melihatku basah kuyup bersimbah air subak. Beliau khawatir aku demam. Sungguh seorang ibu yang baik, beliau meyakini hidupnya dengan menjadi ibu rumah tangga yang baik. Setiap hari beliau memasak untuk kami. Masakannya selalu enak. Terasa pas di lidah kami. Siang hari ketika pekerjaan rumah selesai, beliau pergi ke sawah membawa bekal untuk ayahku sekaligus membantu beliau menggarap sawah sementara aku dan Nyoman adikku sibuk di sekolah. Sekolah kami tak jauh dari sawah ayah. Ketika kami pulang lebih awal, kami biasanya ikut ke sawah. Bukan untuk membantu ayah dan ibu. Tapi bermain-main dengan kerbau, atau sekedar bermain dengan lumpur sawah.

Menginjak remaja, aku sudah jarang ikut ayah ke sungai atau ke kali. Hari-hariku disibukkan dengan sekolah dan banyak sekali les atau kegiatan-kegiatan banjar. Tapi aku masih selalu makan di rumah. Walaupun aku sudah kenyang di traktir teman yang ulang tahun. Aku tetap makan lagi di rumah.

Di sela-sela kesibukannya menggarap sawah, ayahku melukis pemandangan alam di sekitar rumah kami. Setiap sebulan sekali, kami pergi ke Legian untuk menyetor lukisan-lukisan ayahku ke sebuah toko souvenir. Bersama kerajinan-kerajinan khas Bali yang lain, lukisan-lukisan ayahku menunggu tangan yang akan membayarnya. Setelah menyetor lukisan, ayahku biasanya menerima uang hasil penjualan lukisannya yang sudah lebih dulu masuk di toko souvenir itu. Dan dengan uang itu, ayahku memanjakan aku dan adik-adikku. Dia biasanya membawa kami ke sebuah toko buku terbesar di Bali ini. Dan kami boleh membeli buku atau pernak pernik lain sesuka kami.

Sampai pada suatu hari. 12 Oktober 2002, tidak biasanya kami melihat-lihat buku sampai tengah malam. Mungkin karena ibu ikut, kami jadi lupa waktu. Usiaku belum juga genap 17 tahun. Ayahku memintaku untuk mengambil Daihatsu Hijet kami di tempat parkir. Dengan bangga aku menuruti perintah itu. Belum seminggu aku belajar mengemudi, tapi ayahku sudah mempercayai aku untuk mengemudi, meski hanya beberapa meter saja. Sampai di tempat parkir, kupraktekan semua ajaran ayahku. Kukemudikan mobil butut itu perlahan menuju pintu masuk toko.

Aku mengemudi dengan tegang. Ramai sekali jalan ini. Aku berhenti di depan sebuah kafe. Paddy’s, tulisan nama kafe itu terlihat di spion mobil. Aku sudah melihat keluargaku. Tiba-tiba, dari belakangku, aku melihat sebuah kilatan cahaya. Terang sekali kilatan itu diikuti suara ledakan yang menggemuruh. Begitu keras suara ledakan itu, sampai telingaku tak sanggup menangkap frekwensi suara ledakan itu. Mobil yang kukendarai terguling ke samping kiriku dan terhempas pada sebuah toko roti. Untuk beberapa saat, aku hanya mendengar suara riuh tangis dan teriakan banyak orang lalu lalang di dekatku. Mataku tak sanggup terbuka. Nafasku tersengal dan terasa sesak, sulit sekali bernafas.

“Selamat Pagi mBak Nara.” Sapa seorang petani yang melintas di jalan setapak diantara rumah dan sawah-sawah itu. Aku terhenyak dan tergagap menjawab sapaan pria itu. “Iya Pak Pri, Selamat Pagi.” Kulihat jam di dinding samping tempatku melamun. Tak terasa, setengah jam aku melamun. Pandanganku jatuh pada cermin yang kupasang dibawah jam dinding itu. Seperti wajah yang kukenal ketika 10 tahun yang lalu aku berkaca di Banjar Kerambitan. Hanya saja, ada sebuah bekas luka memotong alis kirinya menggurat sampai dahi, membuat ekspresi wajah itu semakin keras. Aku melirik lengan kiri ku, tepat dibawah perban yang membebat luka tembakku kemarin, sebuah bekas luka memanjang sampai pertengahan pergelangan tangan. Hampir hilang, dan tertutup luka-luka baru yang kudapat selama petualanganku.

Aku berjalan menuju ruang persenjataanku. Kutaruh gelas kopi itu di meja makan yang kulewati. Di samping pintu ruangan, aku menekan beberapa tombol angka di panel yang tertempel disitu. 8 digit sandi angka, dan terbukalah pintu itu secara otomatis. Aku memakai Kevlar anti peluru yang tergolek di samping meja. Kevlar itulah yang menyelamatkanku berkali-kali dari terjangan peluru musuh-musuhku.

Dari rak-rak yang tersusun rapi disitu, aku mengambil 2 Walther PK 380, kuselipkan di sarung pistol yang tergantung bawah ketiakku. 2 Walther P99 kuselipkan di pinggangku. Dan terakhir, 1 belati Feldmesser kuselipkan di kaki kiriku. Kututup persenjataanku itu dengan jaket tebal North Face. Aku menoleh pada meja disamping kananku. Disitu, beberapa dokumen berserak berantakan. Kurapikan dokumen-dokumen itu. Passport-passport asli tapi palsu dari berbagai Negara. Dokumen-dokumen perjalanan dan boarding pass yang belum sempat ku buang. Tiba-tiba, sebuah lembaran terjatuh. Lembaran itu menarik perhatianku. Sebuah akta lahir, dengan sebuah nama tertera disitu. Dan aku terkejut ketika melihat sebuah tanggal lahir di akta itu. 10 Juli 1982. Tanggal yang sama ketika kulirik jam digital di pergelangan tanganku.

Aku bergegas mengemudikan motorku di jalanan Jakarta, hanya butuh setengah jam untuk sampai di markasku. Tanpa macet yang berarti, aku berhasi sampai di gedung itu dalam waktu 25 menit saja. Markasku terletak di balik sebuah gedung kuliah sebuah universitas swasta ternama di Jakarta. Agak jauh dari gedung induk, orang akan mengira bahwa gedung yang kami tempati sebagai markas itu hanya gudang belaka. Markas kami terletak dibawah gedung itu. Sebuah bunker modern dengan sistem komputer dan kelistrikan yang canggih. Untuk memasuki ruang itu, para agen dan petugas harus mencocokan sidik jari dan melewati retinal scan. Praktisnya hanya ada 2 jenis orang, mereka dengan lencana densus 88 atau mereka yang terborgol.

Hari ini, aku akan menerima pengarahan soal pengamanan Paijan nanti malam. Seorang tahanan teroris yang menjadi otak pembunuh keluargaku akan kulindungi perjalanannya. Jendral dari mabes polri itu memimpin briefing dengan khidmad, dia menjelaskan semua resiko dan kemungkinan gangguan yang akan terjadi sepanjang pengawalan tahanan. Setelah dia selesai bicara, Targa menyambungnya dengan penjelasan strategi yang akan dipakai. Tim dibagi 2 regu. Targa akan memimpin sendiri regu 1 dan aku akan bertanggungjawab memimpin regu 2. Setelah masuk di regu. Aku dibebaskan untuk berimprovisasi dan mendesain strategiku sendiri.

2 paijan akan menjadi tanggungjawabku, sementara, tim yang dipimpin Targa hanya akan mengawal satu dari anggota kami yang menyamar sebagai Paijan. Dari rumah tahanan Cipinang, kami akan membawa paijan menuju Mabes polri untuk selanjutnya diterbangkan ke Nusa Kambangan. Dan setelah itu, selesailah tugas kami. Ini tugas yang berat, mengingat, 2 paijan sialan itu diagung-agungkan oleh para pengikut mereka. Menurut informasi intelejen dari BIN, akan ada sebuah aksi untuk membebaskan paijan-paijan itu ketika mereka dipindahkan dari Cipinang menuju Nusa kambangan.

Akhirnya, jam yang ditunggu pun tiba. Tepat jam 7 malam kami tiba di LP Cipinang. 2 anggota brimob menghormat khidmat ketika mobil kami memasuki pelataran LP. Kami bersenjata taktis lengkap. Di tubuhku melekat 2 Walther yang kubawa dari rumah tadi. Aku meninggalkan 2 pistolku yang lain untuk memberi tempat bagi 4 magazen senapan HK 416 yang kusandang di belakang punggungku. Begitu juga dengan 7 rekan setimku. Mereka adalah orang-orang berpengalaman yang lolos dari seleksi ketat untuk menjadi anggota Densus 88.

Kami mengendarai 2 SUV. Aku berada di SUV pertama di depan. “Markas masuk, markas” aku melapor melalui komunikasi radio. “Tim Alfa silakan!” aku melapor bahwa kami sudah sampai di LP Cipinang, 2 anggota timku sudah masuk untuk menjemput paijan, dan aku mengurus surat-surat pemindahan tahanan dengan kepala LP. Kami siap pergi. Kami membentuk iring-iringan dengan 2 sepeda motor CBR 500 CC dari Unit Patroli Jalan Raya membukakan jalan untuk 2 SUV kami. Tiba di jalan raya, rombongan kami langsung melaju dengan cepat. Aku duduk di depan Paijan 1, Abdul Muklas, alias Untung, alias Wardiman, dan berapa alias lagi aku tidak begitu memperhatikan. Dari spion diatas dashboard, aku bisa melihat wajahnya yang menyebalkan. Mungkin tampang inilah yang dia pasang 10 tahun yang lalu, ketika tahu bom buatannya berhasil meledak. Ingin sekali kuhancurkan kepala dan tampang itu dengan pistol yang tak berpengaman di pinggangku.

Aku melapor ke markas setiap 5 menit sekali, kulaporkan situasi di sekitar iring-iringan kami. Muklas terus saja meneriakkan pujian kepada Tuhannya. Entah Tuhan yang mana yang ia teriaki. Tapi dari semula sejak dia dijemput oleh 2 rekanku dari sel. Dia tidak henti-hentinya berteriak memuji-muji tuhannya. 1 rekanku sudah memintanya diam, dia hanya diam 5 menit dan kemudian dia mulai berteriak lagi. Aku jengkel. Dengan sengaja aku mengatur popor senapanku diantara kursi pengemudi dan kursiku. Setelah tepat popor itu didepan perut Muklas, aku mendorongnya kebelakang dengan keras. Dia terkejut, matanya melotot kesakitan, kupukulkan lagi popor HK 416 ini ke dagunya. “Heegh…”Dia melenguh dan kemudian terdiam kesakitan. Kulakukan semua itu dengan cepat dan tanpa ekspresi. 3 rekanku yang semobil denganku hanya diam saja. Mungkin mereka bingung, jawaban apa yang akan mereka berikan jika nanti Paijan sampai di Nusa kambangan dan divisum oleh dokter.


hari ini hari ulang tahunku. Tak ada satupun teman ataupun saudara yang tahu. Aku punya banyak sekali identitas, dan hanya aku yang tahu hari ulangtahunku yang sebenarnya. Aku ingin menangis, aku menghabiskan malam hari ulangtahunku dengan mengantar orang yang menjadi otak pembantaian keluargaku. Tapi tangis itu kutahan sekuat tenaga. Seorang Nara Stoijchkoff tak boleh dan tak pernah menangis.

Nama Asliku, Ni Luh Nara Sekarkinanti.

No comments: